Fahami Tentang Zhihar

Hukum zhihar sebagaimana yang telah ditetapkan dalam sunan Rasulullah s.a.w adalah bahwasanya ia telah berlaku pada Rasulullah iaitu berlakunya pada sebuah keluarga Khaulah binti Tha’labah, isteri Aus bin Ash-Shamit. Suami Khaulah telah marah lalu dia men-zhihar dirinya. Khaulah lalu pergi menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam dan memberitahukan perkaranya sambil berkata, “Dia tidak bermaksud untuk mentalakku.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku tidak tahu melainkan engkau sebenarnya telah menjadi haram ke atasnya.”[i]

Di dalam hadis ini Rasulullah telah menjadikan zhihar sebagai talak, dan talak itu jatuh walaupun diucapkan dalam keadaan marah. Akan tetapi jika seseorang itu marah sehingga dia hilang akal, talak itu tidak berlaku. Dalam keadaan ini dia menyerupai orang gila, maka berlaku hukum ‘tidak jatuh talak yang lahir dari seorang gila’.[ii]

Di antara ungkapan Jahiliyah yang masih tersebar di kalangan umat ini adalah ungkapan yang menjerumuskan kepada persoalan zhihar. Seperti ucapan seorang suami kepada isterinya, “Bagiku, engkau seperti punggung ibuku; atau engkau haram bagiku, sebagaimana haramnya saudara perempuanku.” Atau ucapan-ucapan kotor lain yang dibenci syari’at, karena di dalamnya mengandung penganiayaan terhadap wanita. Dalam Islam, menzhihar istrinya adalah perkara yang diharamkan. Seorang suami yang mengeluarkan ucapan itu tidak boleh lagi mencampuri istrinya dan tidak pula bermesraan dengannya melalui bagian anggota tubuhnya yang mana saja sebelum dia menebusnya dengan membayar kafarah sebagaimana ketentuan agama.

Dalam Alquran Allah berfirman:


“ Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih”.

(Surah Al-Mujadalah :3-4)


Orang yang menzhihar istrinya dalam jangka waktu sehari atau sebulan, misalnya dia berkata, “Bagiku engkau seperti punggung ibuku selama sebulan” dan dia menepati sumpahnya, maka dia tidak terkena denda. Namun manakala dia mencampuri istrinya sebelum berakhirnya waktu yang telah ditetapkannya, maka dia wajib membayar kafarah zhihar. Syari’at Islam menjadikan kaffarat zhihar demikian berat, yakni hampir menyerupai kaffarat pembunuhan yang tidak disengaja.[i] Demikian pula menyerupai kaffarat jimak pada siang hari di bulan Ramadhan. Seorang yang telah menzhihar istrinya, tidak boleh mendekati istrinya, kecuali setelah ia membayar kaffarat tersebut. Allah mengkategorikan zhihar sebagai perkataan yang mungkar dan dusta. Allah juga mengingkari orang yang menzhihar istrinya, sebagaimana firmannya:


“ Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.


(Surah Al-Mujadalah:2)

Kaum Muslim sebaiknya berhati-hati dengan kalimat yang menjurus ke arah zhihar. Termasuk bila mengucapkannya di saat marah atau dalam pertengkaran antara suami-istri. Mengenai hal ini, jumhur fuqaha berpendapat bahwa kafarat tidak diwajibkan tanpa ada pencabutan kembali kata-kata zhihar.

Mujahid dan Thawus berpendapat, menurutnya kafarat diwajibkan tanpa ada pencabutan kembali kata-kata zhihar dan alasannya berdasarkan firman Allah, “Orang-orang ynag menzhiharkan istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba”. (QS, al-Mujadalah:3).

Dengan metode qiyas, zhihar itu mirip dengan kafarat akibat sumpah. Kafarat wajib dilaksanakan kerna pelanggaran atau keinginan untuk melanggar, demikian itu pula halnya zhihar.

Mujahid dan Thawus mengemukakan alasan bahwa zhihar merupakan suatu perbuatan yang diwajibkan kafarat tertinggi. Maka sudah seharusnyalah perbuatan itu sendiri yang mewajibkan kafarat terebut, bukan perbuatan tambahan. Karena hal ini disamakan dengan kafarat pembunuhan dan berbuka puasa. Di samping itu, fuqaha juga mengatakan bahwa zhihar itu pada mulanya adalah talak di zaman jahiliyyah, kemudian keharaman zhihar itu dibatalkan dengan cara membayar kafarat. Dan itulah pengertian yang dimaksud oleh mereka. “menurut mereka, yang dimaksud dengan al-aud (kembali) adalah kembali kepada islam.[i]

Manakala kebanyakan ulama fikih berpendapat, yakni imam syafi’e mengatakan maksud kata “kembali” adalah mempertahankan istri setelah dia dizhihar dalam waktu yang cukup untuk menjatuhkan talak, tapi dia tidak menalaknya. Menyamakan istri dengan ibu menuntut adanya talak. Dan mempertahankannya sebagai istri setelah zhihar bertentangan dengan tlak tersebut. Jadi jika suami sudah berkeinginan untuk mempertahankan istrinya, berarti dia telah menarik balik ucapan zhiharnya dan hal ini bertentangan dengan ucapan yang telah dia katakan sebelumnya.

Pendapat Qatadah, Said bin jubair, Abu hanifah dan murid-muridnya berpendapar bahwa “kembali” artinya bersetubuh yang sebelumnya diharamkan karena zhihar.jika seorang suami ingin menyetubuhi istrinya, nerarti dia telah kembali dari keinginan menjadikan istri layaknya ibunya menjadi istrinya, baik pada akhirnya dia menyetubuhi atau pun tidak.

Menurut Imam Malik, keinginan untuk bersetubuh, meski pun belum dilakukan, sudah cukup mewakili keinginannya untuk mempertahankannya sebagai istri. Daud, Syu’bah dan mazhab Zhahiri berpendapat, seseorang diwajibkan membayar kafarat atas zhihar yang diucapkannya kepada istrinya jika dia mengucapkan kata zhihar dua kali, jika dia hanya mengucapkan kata zhihar untuk kali pertama dia tidak diwajibkan membayar kafarat.[i]

Kafarat zhihar adalah atau denda puasanya menjadi sah dengan syarat-syarat sebagai berikut :

Pertama: dia tidak mampu memerdekan budak.

Kedua : puasanya dilakukan selama dua bulan berturut-turut atau berselang seli seminggu sekali.

Ketiga : jika ia membayar dendanya dengan memberi makan fakir miskin, maka disyaratkan sebagai berikut :

1.Dia tidakmampu untuk berpuasa

2.Orang miskin yang diberinya makan adalah orang muslim yang merdeka yang

boleh menerima zakat.

3.Makanan atau pakaian yang deberikan kepada orang tersebut tidak boleh kurang daru kebutuhan sehari-harinya yang layak (satu mud gandum dan setengah sha’ dari yang lain).(satu sha’ = 2.176 kg.-pent).[ii]

Inilah ajaran agama kita yang sangat mulia, yang selalu menjanjikan solusi yang pada setiap permasalahan yang muncul. Termasuk di dalamnya masalah yang terjadi dalam rumah tangga, seperti masalah zhihar yang biasa terjadi pada zaman jahiliyyah akan tetapi tidak pernah ada jalan keluar kecuali dengan bercerai dan memisahkan kehidupan keluarga yang tertimpa hal tersebut. Maka sungguh mulia agama kita ini.

Apa lagi, kita melihat dalam membayar denda pun islam memperhatikan kondisi sang suami. Syariat tentang cara pembayarannya juga disesuaikan dengan kondisi sang suami dan kemampuan yang dapat mereka lakukan dari ketiga pilihan yang diharuskan tersebut, yaitu memilih dengan memerdekakan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang fakir miskin. Segala puji bagi Allah yang telah mengatur semua ini.[iii]

p/s :
hasil makalah ana dalam matakuliah perceraian dalam islam.
sekadar pemahaman bagi yang membaca..hehe (^_^)


[i] Sayyid Sabiq, FiqhSunnah, Tahkik dan Tkhrij: Muhammad Nasirudin Al-Albani, jilid 4. hlm 101.

[ii] Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari. Hlm 720

[iii] Ibid, hlm 721.



[i] Abdul Latif b. Muda, Huraian Ayatayat Hukum 2, hlm 239-262.

0 ulasan:

Laman Sahabat

Bicara UKHUWWAH

ShoutMix chat widget

Followers

About Me

Foto Saya
ibnu qais
Dilahir di Kampung tercinta di Desa Permai Pagut pada tanggal 18 Mei 1986 pada jam 08.55pm bersamaan 9 Ramadhan 1406 Hijrah iaitu jatuh pada hari Ahad. Mendapat pendidikan awal di Sekolah Agama (Arab) Al-Ittihadiah Tanjung Pagar, Ketereh.Kemudian melanjutkan ke pengajian menengah di Sekolah Menengah Agama (Arab) Darul Aman, Kok Lanas dari 1999-2002, sekarang dikenali Ma'had Tahfiz Sains Nurul Iman. Setelah itu saya berhijrah ke Sekolah Menengah Agama (Arab) Azhariah, Melor. Setelah tamat, saya mendapat tawaran melanjutkan pengajian ke peringkat diploma bidang syariah di Kolej Islam Antarabangsa Sultan Ismail Petra (KIAS),Kelantan (2005-2008) dan sekarang melanjutkan pengajian sarjana di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Nanggroe Acheh Darussalam, Republik Indonesia,dalam Fakultas Syariah Jurusan Ahwalul Syakhsiyyah(Hukum Keluarga Islam). Sebarang pandangan emailkan kepada yiez_almaqdisi@yahoo.com @ ibnqais@gmail.com.
Lihat profil lengkap saya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Ultimos Comentarios

 
Copyright © Jalan Yang Lurus