0

Menjadi Kaya Dengan Sedekah


Sedekah merupakan salah satu ajaran Islam yang di dalamnya meniscayakan kepedulian dan keadilan sosial (social justice). Sedekah juga berfungsi sebagai medium membangun solidaritas sosial (social solidarity) dalam maknanya yang luas.

Dalam konteks ke-Malaysia-an, membincang kembali perintah sedekah merupakan sebuah keniscayaan yang tidak akan pernah kehilangan titik relevansinya. Apalagi di tengah realitas kemiskinan yang kian membengkak dari tahun ke tahun. Kemiskinan makin merajalela, seperti rumput dilalang. Ditebas pagi, petang tumbuh lagi. Rezim demi rezim penguasa mencuba melawannya, tetapi kemiskinan tetap di tempat semula, sindir Muhammad Sobari dalam artikelnya, Si Kaya dan Si Miskin (Kompas, 06/08/06).

Kemiskinan dengan demikian merupakan sebentuk bencana sosial yang penting direfleksikan. Dan realisasi perintah sedekah, sebagaimana diulas dalam buku Menjadi Kaya dengan Sedekah, ini adalah wujud dari refleksi itu sendiri. Dengan berderma kepada sesama bererti kita mengedepankan spirit kepedulian. Sedangkan kepedulian meniscayakan adanya rasa cinta dan kasih sayang kepada sesama (hal.19).

Berangkat dari kesadaran inilah ajaran sedekah penting diteguhkan kembali. Sebab seseorang yang dalam hidupnya derma menafkahkan sebagian dari harta-harta bendanya, maka ia pasti akan menjumpai keberuntungan yang tak terkira. Ibnu Arabi seorang guru sufi yang dijuluki syaikhul akbar, pernah mengatakan: Dengan sedekah engkau dibalur dengan kemuliaan dan kedermawanan. Maka waspadalah dan berhati-hatilah engkau dalam menghadapi kebakhilan.

Dalam kitab Tanbihul Ghafilin dijelaskan bahwa sedekah itu tidak hanya membawa keberuntungan di akhirat saja sebentuk keyakinan yang dianggap abstrak oleh kebanyakan orang. Akan tetapi di dunia pun banyak keberuntungan-keberuntungan yang luar biasa dahsyat. Kerana itu tak hairan jika Imam Syafi’e dalam syairnya berucap: Kudermakan apa yang ada, walaupun sepanjang malam aku kelaparan dan dahaga.

Ada sebuah kisah yang menceritakan bahwa pada zaman dahulu bangsa Israil dilanda peceklik. Banyak orang yang menderita kelaparan. Tidak sedikit pula yang meninggal dunia akibat tidak makan. Namun masih ada orang kaya tapi tak merasa sama sekali terhadap adanya musibah itu. Orang kaya tersebut memiliki seorang anak gadis yang baik hati dan budi pekertinya.

Suatu malam gadis itu sedang makan. Tiba-tiba datanglah seorang pengemis yang berdiri di ambang pintu.

Berikan aku sedekah semata-mata karena Allah meskipun hanya sepotong roti Ucap pengemis itu dengan wajah berseri-seri.

Gadis itu segera beranjak dan menghampirinya. Ia memberikan sepotong roti kepada pengemis itu dengan ikhlas. Senyumnya menandai betapa ia sangat senang memberikan sepotong roti kepada orang yang jauh lebih membutuhkan daripada dirinya. Bersamaan dengan itu, ayahnya yang kikir baru saja datang dari bekerja. Rupanya sang ayah mengetahui perbuatan anaknya yang dianggap sangat keterlaluan. Ia melutut dan memarahi anak gadisnya.

Setelah memarahi habis-habisan, dengan emosi yang tak terkawal, sang ayah kemudian bergegas pergi ke dapur dan mendapatkan pisau yang tajam. Sebentar saja pisau itu sudah sampai di hadapan anaknya. Dipegangnya tangan kanan anak itu dan dengan serta merta pergelangannya dipotong. Sang ayah rupanya tak mau peduli apakah anaknya akan cacat atau tidak.

Tak lama kemudian usaha orang kaya itu bangkrap. Semakin lama semakin menurun dan akhirnya benar-benar menjadi orang miskin. Hutangnya menjadi banyak dan membebani fikirannya sepanjang hari dan malam. Bekas orang kaya itu jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beberapa waktu setelah itu, isterinya pun meninggal dunia pula.

Kini gadis itu menjadi sebatang kara. Sementara itu, perekonomian di negeri Israil kembali pulih. Orang-orang yang sebelumnya miskin kini menjadi makmur. Dan gadis itu terpaksa menjadi pengemis demi menampung kebutuhan hidupnya.

Suatu ketika ia berdiri di depan rumah bagus dan mewah. Ia berharap pemilik rumah kaya itu memberi sepotong roti atau apa saja yang dapat dimakan untuk mengganjal perutnya.

Sesaat kemudian keluarlah seorang wanita setengah baya dan menghampiri gadis tersebut. Ia memandangi gadis itu dengan penuh simpati. Akhirnya, gadis itu kemudian diambil anak angkat. Wanita pemilik rumah mewah itu diam-diam mempunyai rencana untuk menjodohkannya dengan anak lelakinya yang pergi merantau ke negeri orang dan tak kunjung mengirimkan khabar.

Setelah anaknya pulang, segeralah gadis itu dikhawinkan dengannya. Mereka menggelar pesta meriah dan mengundang kenalannya yang rata-rata orang kaya dan pejabat di negeri itu.

Di tengah majlis perkhawinan yang digelar, sang pengantin laki-laki merasa kurang senang melihat ulah isterinya yang dianggap kurang sopan, karena makan dengan tangan kiri. Pengantin laki-laki berusaha menegurnya. Tetapi pengantin wanita itu tetap merasa sulit karena selama ini ia menyembunyikan cacat tangannya sehingga tak seorang pun tahu.

Tiba-tiba terdengar suara dari luar, Keluarkanlah tangan kananmu. Sungguh, engkau pernah bersedekah sepotong roti dengan ikhlas karena Allah. Maka tanganmu sempurna kembali seperti semula

Mendengar suara tersebut, terpaksa pengantin wanita mengeluarkan tangan kanannya. Terjadilah suatu keajaiban: telapak tangannya yang terputus itu berubah seperti sediakala. Pengantin wanita itu sangat hairan melihat kejadian yang sangat menakjubkan itu.

Itulah keberuntungan orang yang ikhlas bersedekah, walau hanya sebatas roti. Sungguh balasan Allah jauh lebih besar dari apa yang kita bayangkan. Kedermawanan seorang gadis dalam kisah di atas menunjukkan bahwa sedekah merupakan wujud dari kepedulian sosial yang penting dikedepankan.

0

Kendali


“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (QS. Ali `Imran: 14).

Segala macam kesenangan dunia yang disebutkan dalam ayat di atas terbukti sungguh menyilaukan mata manusia. Siapa saja. Bukan hanya rakyat jelata, tetapi juga raja-raja. Untuk mendapatkan itu semua, seorang yang berstatus raja bisa berperangai layaknya seorang yang hina, dan bahkan lebih hina dari itu. Di sinilah diingatkan agar siapapun memperkuat kendali diri agar tidak mudah terjerumus dalam melakukan perbuatan yang berdosa.

Lebih-lebih dalam sejarahnya, dalam keluarga Nabi Adam saja, terdapat anaknya yang melakukan kejahatan dalam memperebutkan wanita, yaitu yang bernama Qabil. Ia benar-benar kehilangan kendali. Akal sehatnya hilang. Rasa ibanya musnah. Tak kenal lagi saudara, sehingga tega membunuh saudara kandungnya sendiri, Habil, demi memperebutkan Iklima yang rupawan. Perselisihan-perselisihan semacam itu terus-menerus terjadi hingga kini dan bahkan hingga berakhirnya umur dunia ini, terutama dalam memperebutkan kesenangan dunia. Ini suatu pertanda, betapa berat manusia dalam mengendalikan diri dari kecintaannya yang berlebihan pada segala macam kesenangan dunia.

Sebagai kendalinya, Rasulullah s.a.w. pernah mengajak kita ummatnya agar pandai membawa diri. Yaitu, senantiasa melihat ke bawah bila berkenaan dengan harta dunia, yaitu pada orang-orang yang memiliki harta lebih sedikit dari kita. Jangan melihat ke atas. Cara ini bukan hanya bisa menenteramkan hati, tetapi juga menambah rasa syukur kita kepada Allah atas segala rahmat yang telah diberikanNya kepada kita.

0

Marhaban Yaa Ramadhan




Seluruh umat Islam kini menyerukan 'Marhaban Ya Ramadhan, Marhaban Ya Ramadhan", selamat datang Ramadhan, Selamat datang Ramadhan. Di masjid-masjid, musholla, surat khabar, stesen televisi dan radio dan berbagai mailing list, ungkapan selamat datang Ramadhan tampil dengan berbagai ekpresi yang variatif.

Setiap media telah siap dengan dengan sederet agendanya masing-masing. Ada rasa gembira, ke-khusyukan, harapan, semangat dan nuansa spiritualitas lainnya yang sarat makna untuk diekpresikan. Itulah Ramadhan, bulan yang tahun lalu kita lepas kepergiannya dengan linangan air mata, kini datang kembali.

Sejumlah nilai-nilai dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa pun marak dikaji dan kembangkan. Ada nilai sosial, perdamaian, kemanusiaan, semangat gotong royong, kebersamaan, persahabatan dan semangat prularisme. Ada pula manfaat lahiriah seperti: pemulihan kesehatan (terutama perncernaan dan metabolisme), peningkatan intelektual, kemesraan dan keharmonisan keluarga, kasih sayang, pengelolaan hawa nafsu dan penyempurnaan nilai kepribadian lainnya. Ada lagi aspek spiritualitas: puasa untuk peningkatan kecerdasan spiritual, ketaqwaan dan penjernihan hati nurani dalam berdialog dengan al-Khaliq. Semuanya adalah nilai-nilai positif yang terkandung dalam puasa yang selayaknya tidak hanya kita fahami sebagai wadah yang memenuhi intelektualitas kita, namun menuntut implementasi dan penghayatan dalam setiap aspek kehidupan kita.

Penting juga dalam menyambut bulan Ramadhan tentunya adalah bagaimana kita merancang langkah strategi dalam mengisinya agar mampu memproduksi nilai-nilai positif dan hikmah yang dikandungnya. Jadi, bukan hanya melulu memikir menu untuk berbuka puasa dan sahur saja. Namun, kita sangat perlu menyusun menu rohani dan ibadah kita. Kalau direnungkan, menu buka dan sahur bahkan sering lebih istemawa (baca: mewah) dibanding dengan makanan keseharian kita. Tentunya, kita harus menyusun menu ibadah di bulan suci ini dengan kualitas yang lebih baik dan daripada hari-hari biasa. Dengan begitu kita benar-benar dapat merayakan kegemilangan bulan kemenangan ini dengan lebih berkah dan nikmat.

Ramadhan adalah bulan penyemangat. Bulan yang mengisi kembali baterai jiwa setiap muslim. Ramadhan sebagai 'Shahrul Ibadah' harus kita maknai dengan semangat pengamalan ibadah yang sempurna. Ramadhan sebagai 'Shahrul Fath' (bulan kemenangan) harus kita maknai dengan memenangkan kebaikan atas segala keburukan. Ramadhan sebagai "Shahrul Huda" (bulan petunjuk) harus kita implementasikan dengan semangat mengajak kepada jalan yang benar, kepada ajaran Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad Saw. Ramadhan sebagai "Shahrus-Salam" harus kita maknai dengan mempromosikan perdamaian dan keteduhan. Ramadhan sebagai 'Shahrul-Jihad" (bulan perjuangan) harus kita realisasikan dengan perjuangan menentang kedzaliman dan ketidakadilan di muka bumi ini. Ramadhan sebagai "Shahrul Maghfirah" harus kita hiasi dengan meminta dan memberiakan ampunan.

Dengan mempersiapkan dan memprogram aktifitas kita selama bulan Ramadhan ini, insya Allah akan menghasilkan kebahagiaan. Kebahagiaan akan terasa istimewa manakala melalui perjuangan dan jerih payah. Semakin berat dan serius usaha kita meraih kabahagiaan, maka semakin nikmat kebahagiaan itu kita rasakan. Itulah yang dijelaskan dalam sebuah hadist Nabi bahwa orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan.

Pertama yaitu kebahagiaan ketika ia "Ifthar" (berbuka). Ini artinya kebahagiaan yang duniawi, yang didapatkannya ketika terpenuhinya keinginan dan kebutuhan jasmani yang sebelumnya telah dikekangnya, maupun kabahagiaan rohani karena terobatinya kehausan sipritualitas dengan siraman-siraman ritualnya dan amal sholehnya.

Kedua, adalah kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya. Inilah kebahagian ukhrawi yang didapatkannya pada saat pertemuannya yang hakiki dengan al-Khaliq. Kebahagiaan yang merupakan puncak dari setiap kebahagiaan yang ada.

Akhirnya, hikmah-hikmah puasa dan keutamaan-keutaman Ramadhan di atas, dapat kita jadikan media untuk bermuhasabah dan menilai kualitas puasa kita. Hikmah-hikmah puasa dan Ramadhan yang sedemikian banyak dan mutidimensional, mengartikan bahwa ibadah puasa juga multidimensional. Begitu banyak aspek-aspek ibadah puasa yang harus diamalkan agar puasa kita benar-benar berkualitas dan mampu menghasilkan nilai-nilai positif yang dikandungnya. Seorang ulama sufi berkata "Puasa yang paling ringan adalah meninggalkan makan dan minum". Ini berarti di sana masih banyak puasa-puasa yang tidak sekedar beroleh dengan jalan makan dan minum selama sehari penuh, melainkan 'puasa' lain yang bersifat batiniah.

Semoga dengan mempersiapkan diri kita secara baik dan merencanakan aktifitas dan ibadah-ibadah dengan ihlas, serta berniat "liwajhillah wa limardlatillah", karena Allah dan karena mencari ridha Allah, kita mendapatkan kedua kebahagiaan tersebut, yaitu "sa'adatud-daarain" kebahagiaan dunia dan akherat. Semoga kita bisa mengisi Ramadhan tidak hanya dengan kuantitas harinya, namun lebih dari pada itu kita juga memperhatikan kualitas puasa kita.

0

Memahami Maksud Iddah

Persoalan mengenai iddah jarang diperkatakan dengan anggapan ramai yang tahu mengenainya, tetapi yang nyata masih ada kurang faham sehingga keadaan menjadi keliru.


Menurut kitab fiqah, iddah ialah waktu menunggu yang diwajibkan ke atas wanita yang diceraikan, sama ada cerai hidup atau cerai mati, bagi mengetahui sama ada empunya diri hamil atau tidak. Bagi wanita hamil, iddahnya sehingga lahir anak dikandungnya itu, baik cerai mati atau cerai hidup.


"Dan perempuan mengandung, tempoh iddahnya ialah hingga mereka melahirkan anak yang dikandungnya." (Surah at-Talaq: 4)


Wanita tidak hamil, ada ketikanya bercerai mati dan bercerai hidup. Bagi yang bercerai mati, iddahnya empat bulan sepuluh hari.


"Dan orang yang meninggal dunia antara kamu, sedang mereka meninggalkan isteri-isteri, hendaklah isteri-isteri itu menahan diri mereka (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari." (Surah al-Baqarah: 234)


Jika diperhatikan, ayat 4 surah at-Talaq umum membabitkan cerai hidup dan cerai mati apabila hamil iddahnya sehingga lahir anak dan ayat 234 surah al-Baqarah juga umum membabitkan wanita hamil dan tidak apabila bercerai mati iddahnya empat bulan sepuluh hari. Di sini wujud sedikit perselisihan faham mengenai wanita bercerai mati sedangkan dirinya hamil, manakala anaknya lahir sebelum cukup empat bulan sepuluh hari dari tarikh suaminya meninggal. Apakah iddahnya tamat dengan melahirkan anak walaupun belum cukup tempoh empat bulan sepuluh hari dari tarikh suaminya meninggal kerana berdasarkan umumnya ayat pertama di atas?


Haruskah idahnya dicukupkan juga empat bulan sepuluh hari kerana berdasarkan ayat yang kedua? Menurut jumhur ulama salaf (terdahulu), iddahnya ialah lahir anaknya walaupun belum cukup empat bulan sepuluh hari. Tetapi menurut pendapat lain yang diriwayatkan daripada Ali, iddahnya mesti mengambil yang lebih panjang. Walaupun anaknya lahir lebih awal, iddahnya harus menunggu sehingga empat bulan sepuluh hari.


Menurut pendapat itu, jika sampai tempoh empat bulan sepuluh hari, tetapi anak yang dikandungnya belum lahir, iddahnya harus menunggu sehingga bersalin. Selain itu, ada perbezaan pendapat mengenai iddah wanita hamil.


Imam Syafie berpendapat iddah wanita terbabit dengan lahirnya anak dikandung apabila anak itu dari suami yang menceraikannya. Tetapi jika anak bukan dari suami yang menceraikannya, wanita terbabit tidak beriddah dengan kelahiran anak.


Pendapat Abu Hanifah, perempuan itu harus beriddah dengan lahir anaknya, baik anak itu anak daripada suami yang menceraikannya atau bukan, walau anak zina sekalipun. Iddah bagi wanita bercerai hidup dengan suaminya ialah tiga kali suci sekiranya dia mempunyai haid.


"Dan isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah menahan diri mereka (dari berkahwin) selama tiga kali suci (dari haid)." (Surah al-Baqarah: 228)


Mengira tiga kali suci itu tidak dicampuri suaminya, dengan suci sewaktu perceraian dikira satu kali suci. Tetapi jika dalam suci waktu perceraian itu dicampuri, dikira tiga kali suci mulai suci dari haid pertama selepas perceraian. Demikian juga perceraian yang berlaku ketika haid, dikira tiga kali suci dari suci selepas haid yang berlaku sewaktu perceraian. Keadaan terbabit sekali gus menyebabkan iddah bagi seseorang wanita lebih panjang. Oleh kerana itu, adalah dilarang suami menceraikan isteri dalam keadaan haid dan suci yang sudah dicampuri. Isteri yang diceraikan suaminya sebelum dicampuri tiada iddah (tidak perlu beriddah).


"Kemudian kamu talak mereka itu sebelum kamu campuri, maka tidaklah mereka beriddah." (Surah al-Ahzab: 49)


Tetapi bagi wanita yang tiada haid, iddahnya tiga bulan. "Dan perempuan-perempuan dari kalangan kamu yang putus asa dari kedatangan haid, jika kamu menaruh syak (terhadap tempoh iddah mereka) maka idahnya ialah tiga bulan..." (Surah at-Talaq: 4)


Perempuan yang tiada haid ada tiga golongan; iaitu yang masih kecil (belum sampai umur), sudah sampai umur, tetapi belum pernah haid dan orang tua yang sudah keputusan atau monopos haid. Wanita beriddah tidaklah boleh dibiarkan begitu saja, malah mereka masih mempunyai hak daripada bekas suaminya, seperti tempat tinggal (rumah), pakaian dan segala perbelanjaan. Mereka ialah wanita yang taat dalam iddah rajiyah (boleh dirujuk), kecuali isteri derhaka, tidak berhak menerima apa-apa. Sabda Rasulullah s.a.w bermaksud: "Dari Fatimah binti Qais, berkata Rasulullah s.a.w kepadanya: 'Perempuan yang berhak mengambil nafkah dan rumah kediaman daripada bekas suaminya itu apabila bekas suaminya itu berhak rujuk kepadanya.'"

(Hadis riwayat Ahmad dan Nasai)


Wanita dalam iddah ba’in (tidak boleh dirujuk) jika hamil juga berhak mendapatkan kediaman, nafkah dan pakaian.


"Jika mereka (janda yang dicerai) mengandung, maka beri nafkahlah olehmu sampai lahir kandungannya." (Surah at-Talaq: 6)


Sementara wanita yang dicerai secara ba’in, tetapi tidak hamil, sama ada ba’in dengan tebus talak mahupun dengan talak tiga, mereka hanya berhak mendapatkan tempat tinggal.

"Tinggalkanlah mereka di tempat kediaman yang sepadan dengan keadaan kamu." (Surah at-Talaq: 6)


Bagaimanapun, sesetengah ulama berpendapat, wanita dicerai secara talak ba’in yang tidak hamil tidaklah berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Dari Fatimah binti Qais dari Nabi s.a.w mengenai perempuan yang ditalak tiga, kata Rasulullah, dia tidak berhak tempat tinggal dan tidak pula nafkah. (Hadis riwayat Ahmad dan Muslim)


Adapun firman Allah dalam surah at-Talaq ayat 6, kata mereka hanya terhadap wanita dalam iddah rajiyah.


Bagi wanita yang beriddah disebabkan kematian suami, mereka tidak mempunyai hak sama sekali walaupun hamil kerana diri dan anak yang dikandungnya sudah mendapat hak pusaka daripada suaminya yang meninggal.

"Janda hamil yang kematian suaminya tidak berhak mengambil nafkah."

(Riwayat Daruqutni)

Laman Sahabat

Bicara UKHUWWAH

ShoutMix chat widget

Followers

About Me

Foto Saya
ibnu qais
Dilahir di Kampung tercinta di Desa Permai Pagut pada tanggal 18 Mei 1986 pada jam 08.55pm bersamaan 9 Ramadhan 1406 Hijrah iaitu jatuh pada hari Ahad. Mendapat pendidikan awal di Sekolah Agama (Arab) Al-Ittihadiah Tanjung Pagar, Ketereh.Kemudian melanjutkan ke pengajian menengah di Sekolah Menengah Agama (Arab) Darul Aman, Kok Lanas dari 1999-2002, sekarang dikenali Ma'had Tahfiz Sains Nurul Iman. Setelah itu saya berhijrah ke Sekolah Menengah Agama (Arab) Azhariah, Melor. Setelah tamat, saya mendapat tawaran melanjutkan pengajian ke peringkat diploma bidang syariah di Kolej Islam Antarabangsa Sultan Ismail Petra (KIAS),Kelantan (2005-2008) dan sekarang melanjutkan pengajian sarjana di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Nanggroe Acheh Darussalam, Republik Indonesia,dalam Fakultas Syariah Jurusan Ahwalul Syakhsiyyah(Hukum Keluarga Islam). Sebarang pandangan emailkan kepada yiez_almaqdisi@yahoo.com @ ibnqais@gmail.com.
Lihat profil lengkap saya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Ultimos Comentarios

 
Copyright © Jalan Yang Lurus