Menuju Jalan Yang Lurus...




Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, ”Seandainya bukan karena sedemikian besar keperluan hamba untuk memohon hidayah siang dan malam, niscaya Allah ta’ala tidak perlu membimbing hamba-Nya untuk melakukan hal ini. Karena sesungguhnya setiap hamba sangat memerlukan pertolongan Allah ta’ala di sepanjang waktu dan keadaan agar petunjuk itu tetap terjaga dengan sempurna,dan semakin faham, meningkat, dan agar dia terus berada di atasnya…” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, I/37)

Syaikhul Islam rahimahullah berkata : Seorang hamba senantiasa memerlukan hidayah Allah untuk melalui jalan yang lurus. Maka dari itu dia sangat memerlukan agar maksud di sebalik doa ini (yaitu ‘ihdinash shirathal mustaqim’). Karena sesungguhnya tidak ada seorang pun yang akan selamat dari azab dan beroleh kebahagiaan kecuali dengan hidayah ini. Barangsiapa yang kehilangan hidayah maka dia akan termasuk golongan orang yang dimurkai atau golongan orang yang sesat. Dan petunjuk ini tidak akan diraih kecuali dengan taufik dari Allah. Ayat ini pun menjadi salah satu senjata menolak kesesatan mazhab Qadariyah.

Adapun pertanyaan orang : ‘Sesungguhnya Allah telah memberikan hidayah kepada mereka (umat Islam) oleh sebab itu mereka tidak perlu meminta hidayah’ beserta jawaban orang untuk pertanyaan itu bahwa ‘yang dimaksud dengan ayat ini adalah permintaan agar hidayah itu terus menerus menyertai hamba’, maka itu semua merupakan ucapan orang yang tidak memahami hakekat hukum sebab akibat dan tidak mengerti isi perintah Allah. Karena sesungguhnya hakekat jalan yang lurus (shirathal mustaqim) itu adalah seorang hamba melakukan perintah Allah yang tepat di setiap waktu yang dijalaninya baik hal itu ilmu maupun amal, dan dia tidak terjerumus kepada larangan Allah.

Inilah hidayah yang sangat diperlukan di setiap saat agar mendapat ilmu dan beramal sebagaimana apa yang diperintahkan Allah serta meninggalkan larangan-Nya pada kesempatan tersebut. Dan hidayah itu pun sangat diperlukan hamba agar dapat keyakinan yang bulat dalam rangka menjalankan perintah. Demikian pula halnya diperlukan rasa benci yang amat dalam agar dapat meninggalkan hal-hal yang dilarang. Apalagi ilmu dan tekad yang lebih khusus ini sangat sulit untuk dimiliki seseorang di saat yang sama.

Bahkan di sepanjang waktu hamba sangat berkehendakan pertolongan Allah swt untuk mengaruniakan ilmu dan tekad ke dalam hatinya sehingga dia akan dapat berjalan di atas jalan yang lurus. Memang benar, bahwa seorang muslim telah memperoleh petunjuk umum yang menerangkan bahwa Al-Qur’an adalah haq, Rasul pun haq dan agama Islam adalah benar. Anggapan itu memang benar. Akan tetapi petunjuk yang masih bersifat umum ini belumlah cukup baginya apabila dia tidak mendapatkan petunjuk yang lebih halus dalam menyikapi segala perkara juz’iyaat (persoalan cabang) yang diperintahkan kepadanya dan dilarang darinya dimana umumnya akal manusia mengalami kebingungan dalam hal itu. Sehingga hawa nafsu dan syahwat mengalahkan diri mereka dikarenakan hawa nafsu dan syahwat itu telah mendominasi akal-akal mereka.

Pada asalnya manusia itu dicipta sebagai makhluk yang suka berbuat zalim lagi bodoh. Sehingga sejak dari permulaan manusia itu memang tidak punya ilmu dan cenderung melakukan hal-hal yang disenangi oleh hawa nafsunya yang buruk. Oleh sebab itu dia sentiasa memerlukan ilmu yang lebih luas untuk menolak dan mengikis kebodohan dirinya. Selain itu dia juga memerlukan sikap adil dalam mengendalikan rasa cinta dan benci, dalam mengendalikan ridha dan marah, dalam mengendalikan diri untuk melakukan dan meninggalkan sesuatu, dalam mengendalikan diri untuk memberikan dan tidak kepada seseorang, dalam hal makan dan minumnya, dalam keadaan tidur dan terjaga.

Maka segala sesuatu yang hendak diucapkan atau dilakukannya memerlukan ilmu yang membuka kejahilannya dan sikap adil yang menyingkirkan kezalimannya. Apabila Allah tidak menganugerahkan kepadanya ilmu serta sikap adil yang lebih sempurna -sebab jika tidak demikian- maka di dalam dirinya tetap akan tersisa kebodohan dan kezaliman yang akan menyeretnya keluar dari jalan yang lurus.

Allah ta’ala berfirman terhadap Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah terjadinya perjanjian Hudaibiyah dan Bai’at Ridhwan (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah memberikan kemenangan kepadamu dengan kemenangan yang nyata.” hingga firman-Nya, “Dan Allah menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath : 1-2). Kalau keadaan beliau di akhir hidupnya atau menjelang wafatnya saja seperti ini (tetap memerlukan hidayah-pent) maka bagaimanakah lagi keadaan orang selain beliau ? [Majmu’ Fatawa. Islamspirit.com]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, ”Jalan yang lurus ini adalah jalannya orang-orang yang diberi kenikmatan khusus oleh Allah, yaitu jalannya para nabi, orang-orang yang shiddiq, para syuhada dan orang-orang shalih. Bukan jalannya orang yang dimurkai, yang mereka mengetahui kebenaran namun sengaja mencampakkannya seperti halnya kaum Yahudi dan orang-orang seumpama mereka. Dan jalan ini bukanlah jalan yang ditempuh orang yang sesat; yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran karena kebodohan dan kesesatan mereka, seperti halnya kaum Nasrani dan orang-orang seperti mereka.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 39).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al ‘Ankabut [29] : 69).

Ibnul Qayyim mengatakan, ”Allah subhanahu mengaitkan hidayah dengan jihad (kesungguh-sungguhan). Maka orang yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling besar jihad-Nya dan jihad ini adalah berjihad untuk menundukkan diri sendiri, melawan hawa nafsu, memerangi syaitan, dan menundukkan urusan keduniaan. Barang siapa yang berjihad melawan keempat hal ini di atas petunjuk Allah maka Allah akan menunjukkan kepada-Nya berbagai jalan untuk menggapai keridhaan-Nya dan akan mengantarkan dirinya menuju ke dalam surga-Nya. Dan barang siapa yang meninggalkan jihad, maka akan luput pula darinya petunjuk sepertimana dengan jihad yang ditinggalkannya. Al Junaid mengatakan,”Orang-orang yang berjihad menundukkan hawa nafsu mereka di atas jalan Kami dengan senantiasa bertaubat, maka Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan keikhlasan, dan tidak mungkin sanggup berjihad menghadapi musuh yang ada di hadapannya kecuali orang yang telah berjihad menundukkan musuh-musuh ini di dalam dirinya…” (Al Fawa’id, hal. 58).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka apabila mereka tidak memenuhi seruanmu (wahai Muhammad), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itu hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al Qashash [28] : 50).

Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa semua orang yang tidak mau memenuhi seruan Rasul dan justru menganut pendapat yang menyelisihi ucapan Rasul maka dia tidaklah bermadzhabkan bimbingan hidayah akan tetapi madzhabnya adalah hawa nafsu. Orang-orang yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang yang zalim telah menjadi sikap hidupnya dan suka menentang (kebenaran) telah melekat dalam perangainya. Ketika hidayah menyapa, mereka justru menolaknya. Mereka lebih senang menuruti kemauan hawa nafsunya. Mereka sendirilah yang menutup pintu-pintu dan jalan menuju hidayah. Mereka justru membuka pintu-pintu kesesatan dan jalan menuju ke sana. Mereka menutup mata dan tidak mau tahu, padahal mereka telah tenggelam dalam kesesatan dan penyimpangan. Mereka terombang-ambing, hidup di ambang kehancuran (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 618).

Rabbanaa laa tuzigh quluubanaa ba’da idz hadaitana, wa hablanaa min ladunka rahmah. Innaka anta al-Wahhaab [lihat doa ini dalam QS. Ali Imran : 8].

0 ulasan:

Laman Sahabat

Bicara UKHUWWAH

ShoutMix chat widget

Followers

About Me

Foto Saya
ibnu qais
Dilahir di Kampung tercinta di Desa Permai Pagut pada tanggal 18 Mei 1986 pada jam 08.55pm bersamaan 9 Ramadhan 1406 Hijrah iaitu jatuh pada hari Ahad. Mendapat pendidikan awal di Sekolah Agama (Arab) Al-Ittihadiah Tanjung Pagar, Ketereh.Kemudian melanjutkan ke pengajian menengah di Sekolah Menengah Agama (Arab) Darul Aman, Kok Lanas dari 1999-2002, sekarang dikenali Ma'had Tahfiz Sains Nurul Iman. Setelah itu saya berhijrah ke Sekolah Menengah Agama (Arab) Azhariah, Melor. Setelah tamat, saya mendapat tawaran melanjutkan pengajian ke peringkat diploma bidang syariah di Kolej Islam Antarabangsa Sultan Ismail Petra (KIAS),Kelantan (2005-2008) dan sekarang melanjutkan pengajian sarjana di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Nanggroe Acheh Darussalam, Republik Indonesia,dalam Fakultas Syariah Jurusan Ahwalul Syakhsiyyah(Hukum Keluarga Islam). Sebarang pandangan emailkan kepada yiez_almaqdisi@yahoo.com @ ibnqais@gmail.com.
Lihat profil lengkap saya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Ultimos Comentarios

 
Copyright © Jalan Yang Lurus