Bolehkah Wanita Melamar Lelaki?



Menawarkan diri pada lelaki yang pasti; pasti agamanya, pasti kualitas akhlaknya. Walau yang tak pasti cuma satu, diterima atau tidak. Dan andai ditolak pun sebenarnya bukanlah kehinaan, hanya ladang kesabaran yang nescaya menumbuhkan pahala. Daripada menunggu yang tak pasti; tak pasti agamanya, tak pasti akhlaknya. Bahkan juga tak pasti pula datangnya.

Apakah salah bila seorang wanita muslimah menawarkan dirinya pada seorang lelaki soleh? Padahal menikah merupakan ibadah setengah ad-dîn.

Contoh yang Telah Berlalu
Sebenarnya kejadian seperti ini juga pernah terjadi di zaman Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana hadits dari Anas Radhiyallâhu ‘Anhu, dia berkata, “Telah datang seorang wanita kepada Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam dan menawarkan diri kepadanya, dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau berhajat kepadaku?” Lalu ketika menceritakan hadits ini, maka anak perempuan Anas Radhiyallâhu ‘Anhu mengatakan, “Sungguh sedikit malu perempuan itu dan buruk akhlaknya.” Lalu dijawab oleh Anas Radhiyallâhu ‘Anhu, “Sesungguhnya dia itu (perempuan yang menawar diri) lebih mulia dan baik darimu karena dia mencintai Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam dan menawar dirinya demi kebaikan.” (HR. al-Bukhâri)

Dalam riwayat lain, Sahal bin Sa’ad mengatakan bahwa seorang wanita datang menemui Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menyerahkan diriku kepadamu.” Tatkala wanita itu melihat Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam tidak memutuskan sesuatu terhadap tawarannya itu, lantas dia duduk. (HR. al-Bukhâri dan Muslim)

Hadits di atas tidak dikhususkan kepada Rasul saja, bahkan bisa menjadi contoh teladan kepada semua wanita muslimah dan mereka diperbolehkan menawarkan diri kepada lelaki shalih agar menikahinya, tentunya selama tidak akan menimbulkan fitnah tersendiri dan dengan cara-cara yang terpuji. Dan apa yang terjadi kepada Rasul, selama tidak dikhususkan, maka menjadi perbuatan sunnah yang umum.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. al-Ahzâb: 21)

Al-Bukhâri mengemukakan hadits ini dalam bab seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang laki-laki yang soleh. Sementara dalam Kitab Fathul Baari disebutkan, “Ibnul Munir berkata dalam kitab al-Hasyiah, “Di antara kehebatan Bukhari bahwa ketika dia tahu ada kekhususan dalam kisah seorang wanita yang menyerahkan dirinya ini, dia mencuba menyimpulkan hadits tersebut untuk perkara yang bukan kekhususan. Artinya, bahwa seorang wanita diperbolehkan menawarkan dirinya kepada seorang laki-laki yang soleh kerana tertarik oleh kesolehannya. Maka hal itu diperbolehkan.””
Sementara al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dari hadits mengenai seorang wanita yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam itu dapat diambil kesimpulan, bahwa seorang wanita yang ingin menikah dengan laki-laki yang lebih tinggi kedudukannya daripadanya bukanlah merupakan aib sama sekali. Apalagi kalau tujuannya baik dan maksudnya benar. Boleh jadi kerana kelebihan agama laki-laki yang mau dilamar atau kerana keinginan dan hawa nafsu yang apabila didiamkan saja dikhawatirkan dia bisa terjebak ke dalam sesuatu yang dilarang agama.”
Kemudian Ibnu Daqiq al-’Îd berkata juga, “Hadits tersebut boleh dijadikan dalil mengenai bolehnya seorang wanita menawarkan dirinya kepada seseorang yang diharapkan keberkahannya.”
Berkata Ibn Hisyam Rahimahullâh dalam mengisahkan teladan Khadijah Radhiyallâhu ‘Anhâ dalam menawarkan dirinya kepada Rasulullah dengan mengutus perantara (orang tengah) untuk menyampaikan hajatnya kepada Rasulullah dengan menyampaikan pesanan Khadijah Radhiyallâhu ‘Anhâ, “Wahai anak saudara pamanku, sesungguhnya aku telah tertarik kepadamu dalam kekeluargaanmu, sikap amanahmu, kebaikan akhlakmu, dan benarnya kata-katamu.” 

Adapun menjawab ayat al-Quran yang menyebut kekhususan hanya untuk Nabi, sebagaimana firman Allah,

“Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.” (QS. al-Ahzâb: 50)

Pengkhususan di sini dimaksudkan dalam masalah maskawin, iaitu dikhususkan untuk Rasulullah nikah dengan perempuan yang menghadiahkan dirinya kepada baginda Nabi tanpa perlu beliau membayar maskahwin, sedangkan bagi umat Islam yang lain diwajibkan membayar maskawin, namun untuk Nabi diberi pengecualian. (Ibnu Katsir: 3/124)

Boleh  Juga Oleh Walinya
Memang boleh juga dengan perantara walinya, mungkin saudaranya yang laki-laki atau perempuan, juga boleh orang tuanya yang langsung menawarkan. Sebagaimana cerita tentang Nabi Shaleh yang ditawari Syu’aib akan anak-anaknya yang perempuan,
“Berkatalah dia (Syu’aib), “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun.”” (QS. al-Qashshash: 27)
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan, “Bahwa Umar bin Khattab ketika melihat Hafshah-puterinya dari Khunais bin Khudzafah as-Sahmi-belum bersuami, beliau menawarkannya kepada ‘Utsman bin Affan, lalu kepada Abu Bakar, dan terakhir Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam yang mengkhitbahnya.” (HR. al-Bukhari)
Demikian hadits yang bersumber dari ‘Âli bin Abi Thalib, beliau berkata, “Wahai Rasulullah, apa ada yang engkau pilih dari Quraisy sehingga engkau memanggilku?” Rasulullah menjawab, “Apakah engkau ada pandangan?” Aku katakan, “Ya, puteri Hamzah.” Lalu Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam berkata, “Sesungguhnya dia tidak halal bagiku, kerana dia puteri dari saudaraku sesusuan.” (HR. Muslim)

Melecut Nyali Para Lelaki
Sebenarnya, bukan kerana ketidaktahuan yang membuat para lelaki melambatkan pernikahan. Tapi seringkali kerana tidak pede, terutama masalah mahar dan ma’isyah. Nah, akhwat yang semestinya juga ikut meyakinkan mereka, bahwa dia berani untuk menanggung bersama. Berani menjalani proses kehidupan apapun bentuknya, lapang dan sempitnya, susah mahupun gembiranya. Terkadang para ikhwan itu perlu dipecut agar tidak lagi menjadi pengecut, agar bertambah kuat imannya tentang rezeki RabbNya, dan bertambah pula kreativitas usahanya. Pernikahan terbukti menjadi sebuah bentuk sarana percepatan diri yang sangat efektif. Lalu hanya kepada Allah kita semua bertawakkal.

0 ulasan:

Laman Sahabat

Bicara UKHUWWAH

ShoutMix chat widget

Followers

About Me

Foto Saya
ibnu qais
Dilahir di Kampung tercinta di Desa Permai Pagut pada tanggal 18 Mei 1986 pada jam 08.55pm bersamaan 9 Ramadhan 1406 Hijrah iaitu jatuh pada hari Ahad. Mendapat pendidikan awal di Sekolah Agama (Arab) Al-Ittihadiah Tanjung Pagar, Ketereh.Kemudian melanjutkan ke pengajian menengah di Sekolah Menengah Agama (Arab) Darul Aman, Kok Lanas dari 1999-2002, sekarang dikenali Ma'had Tahfiz Sains Nurul Iman. Setelah itu saya berhijrah ke Sekolah Menengah Agama (Arab) Azhariah, Melor. Setelah tamat, saya mendapat tawaran melanjutkan pengajian ke peringkat diploma bidang syariah di Kolej Islam Antarabangsa Sultan Ismail Petra (KIAS),Kelantan (2005-2008) dan sekarang melanjutkan pengajian sarjana di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Nanggroe Acheh Darussalam, Republik Indonesia,dalam Fakultas Syariah Jurusan Ahwalul Syakhsiyyah(Hukum Keluarga Islam). Sebarang pandangan emailkan kepada yiez_almaqdisi@yahoo.com @ ibnqais@gmail.com.
Lihat profil lengkap saya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Ultimos Comentarios

 
Copyright © Jalan Yang Lurus