0

Cinta Dan Keakraban Ilahi


Keakraban adalah kebersamaan yang dicapai dengan cinta. Begitu banyaknya kesamaan diri kita dengan Allah sehingga kita akan merasakan begitu dekat dengan-Nya. Diri kita memang tidak boleh dipisahkan dengan-Nya kerana kita semua berasal dari-Nya, Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Seperti laut dan gelombangnya, lampu dan cahayanya, api dan panasnya; ber
beza tetapi tidak dapat dipisahkan. Allah dan makhluk-Nya, berbeza tetapi tak boleh dipisahkan. Kita tidak boleh mengatakan bahwa laut sama dengan gelombang, lampu sama dengan cahaya, atau api sama dengan bara, demikian pula kita tidak boleh mengatakan bahwa makhluk sama dengan Khaliq.

Lautan cinta pada diri seseorang akan mengimbas pada seluruh ruang. Jika cinta sudah terpatri dalam seluruh jaringan badan kita maka vibrasinya akan menghapus semua kebencian. Sebagai manifestasinya dalam kehidupan, begitu bertemu dengan seseorang, ia tersenyumm sebagai ungkapan dan tanda rasa cinta.

Nikmat sekali bermesraan dengan Allah SWT. Kadang tidak terasa air mata meleleh. Air
mata kerinduan dan air mata taubat inilah yang kelak akan memadamkan api neraka. Air mata cinta akan memutihkan noda-noda hitam dan menjadikannya suci.

Cinta tidak boleh diterangkan, hanya boleh dirasakan. Terkadang terasa tidak cukup kosakata yang tersedia untuk menggambarkan bagaimana nikmatnya cinta. Kosakata yang tersedia didominasi oleh kebutuhan fisik sehingga untuk mencari kata yang boleh memfasilitasi keinginan rohani tidak cukup.

Terminologi dan kota kata yang tersedia lebih banyak berkonotasi cinta kepada fisik materi, tetapi terlalu sedikit kosa kata cinta secara spiritual. Mungkin itulah sebabnya mengapa Allah S.w.t memilih bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur'an kerana kosa kata spiritualnya lebih kaya. Kosa kata cinta dalam Al-Qur'an menurut ulama tafsir ada 14 kosa kata, mulai dari cinta monyet sampai kepada cinta Ilahi.

Cinta Allah bersifat primer, sementara cinta hamba sekunder. Primer itu inti, substansi. Yang sekunder itu tidak substansial. Pemilik cinta sesungguhnya hanya Allah SWT. Hak
ikat cinta yang sesungguhnya adalah unconditional love (cinta tanpa syarat). Tanpa pamrih ini cinta primer. Ini berbeza dengan cinta kita yang memiliki kepentingan.

Ketika sebelum khawin, masya Allah, kita sampai kehabisan kata-kata melukiskan kebaikan pujaan kita. Akan tetapi sesudah khawin, kata-kata paling kasar pun tak jarang kita lontarkan.

Unconditional love pernah ditunjukkan Rasulullah Muhammad SAW ketika dilempari batu sampai tumitnya berdarah-darah oleh orang Thaif. Rasul hanya tersenyum. "Aduh umatku, seandainya engkau tahu visi dan misi yang kubawa, engkau pasti tidak akan melakukan ini", demikian bisiknya,.

Bahkan ketika datang malaikat penjaga gunung Thaif menawarkan bantuan untuk membalas perbuatan orang Thaif itu, Nabi berucap, "Terima kasih. Allah lebih kuasa daripada makhluk. Jangan diapa-apakan. Mereka hanya tidak tahu. Kelak kalau
mereka sedar, mereka akan mencintai saya".

Nabi Nuh AS pernah menyesal sejadi-jadinya kenapa ia pernah mendoakan umatnya binasa. 950 tahun ia berdakwah mengajak kaumnya ke jalan Allah, namun hanya segelintir yang mengikuti ajakannya. Yang lainnya ingkar sehingga Nabi Nuh berdoa kepada Allah agar dikirimkan bencana kepada kaumnya yang ingkar itu. Maka datanglah banjir besar yang menenggelamkan mereka, sedangkan Nuh dan para pengikutnya sudah mempersiapkan diri dengan membuat perahu.

Ada sebuah ungkapan dari ahli hakekat: "Kalau cinta sudah meliputi, maka tak ada lagi ruang kebencian di dalam diri seseorang. Sejelek apapun dan kasarnya orang lain, ia tak akan membalas dengan kejelekan."

Banyak ulama besar kita telah mencapai tingkatan itu. Imam Syafi'i pernah "dikerjai" oleh seorang tukang jahit saat memesan pembuatan baju. Lengan kanan baju itu lebih besar/longgar dibanding lengan kirinya yang kecil dan sempit. Imam Syafi'i bukannya komplain dan marah kepada tukang jahit itu, malah berterima kasih.

Kata Imam Syafi'i, "Kebetulan, saya suka menulis dan lengan yang lebih longgar ini memudahkan saya untuk menulis sebab lebih mudah bergerak".

Indah hidup ini kalau tidak ada benci. Ini bukan bererti kita harus menahan marah. Yang kita lakukan adalah bagaimana menjadikan diri ini penuh cinta sehingga potensi kemarahan kita berkurang. Kita punya hak untuk marah, dan itu harus diungkapkan dengan propesional.

Jangan kerana makanan sedikit kurang enak lalu marah. Isteri salah sedikit marah. Banyak hal yang membuat kita marah. Akan tetapi, selesaikah persoalan dengan marah?

Semakin meningkat kadar cinta maka semakin mesra pula belaian Allah SWT. Bagaimanakah nikmatnya belaian Allah SWT? Bayangkanlah seorang bayi yang dibelai ibunya. Tersenyum, dan sekelilingnya menggoda. Itu baru belaian makhluk. Apalagi belaian Sang Pencipta.

Kita pun akan semakin akrab dengan Allah, dan semakin tipis garis pembatas alam ghaib di hadapan kita sehingga semua rahsia akan terkuak dan semakin banyak keajaiban yang kita lihat. Seperti sepasang kekasih yang saling mencintai, masih adakah rahsia antara keduanya?

Roh sifatnya tinggi dan cenderung dekat dengan Allah. Raga sifatnya rendah dan jauh dari Allah. Roh itu terang, sedangkan raga gelap. Para sufi mengungkapkan, "Wahai raga, sibukkan dirimu dengan solat dan puasa. Wahai qalbu, sibukkan dirimu dengan bisikan munajat kepada Allah. Wahai raga, ungkapkan iyyâka na'budu. Wahai qalbu, ungkapkan iyyâka nasta'în."

Ta'abbud mendaki ke atas, sedangkan isti'ânah turun ke bawah. Yang melakukan ta'abbud adalah hamba, sedangkan isti'ânah adalah Tuhan. Siapa yang naik akan memancing yang di atas untuk turun menyambut. Kalau tidak pernah naik, jangan harap akan ada yang turun.
Indah perjumpaan itu.

Ada ketakutan dan ada harapan. Kadang kita takut kepada Allah, tetapi juga kita berharap. Ada al-khasya dan ada al-raja'. Di balik ketakutan sehabis berdosa ada harapan bahwa kita akan diampuni, ada keinginan bersama Allah kembali. Maka lahirlah taubat. Seperti pendaki gunung yang tak pernah bosan, naik ke atas, terperosok ke bawah, naik lagi, terperosok, dan naik lagi. Semakin tinggi pendakian itu semakin licin dan sulit. Begitulah cubaan bagi manusia. Semakin tinggi kedudukan seseorang maka semakin tinggi @ berat cubaannya. Namun, cubaan itu jangan membuat kita putus asa. Jika kita terus mendaki, pasti kita akan sampai ke puncak.

Ada ketakjuban dan ada keakraban. Ketakjuban itu ada jarak. Untuk mengagumi suatu objek, kita harus mengambil jarak dari objek itu. Indahnya sebuah lukisan hanya akan terasa jika kita agak jauh dari lukisan itu. Keakraban itu tidak ada jarak, atau sangat dekat sekali. Inilah kita dengan Tuhan. Akrab tetapi takjub.

Ada pemusatan dan ada penyebaran. Allah Maha Esa. Kita fokus ke situ. Akan tetapi, apa yang dilihat pancaindera itu beragam dan beraneka. Namun, semuanya terhubungkan dengan Allah. Warna-warni yang kita lihat di alam semesta ini sumbernya satu, Allah Yang Esa.

Ada kehadiran dan ada ketiadaan. Ini lebih menukik. Satu sisi kita merasakan Allah hadir dalam diri kita, di sisi lain hampa. Kadang kita kosong, kadang penuh. Kadang Dia muncul, kadang tiada. Dia adalah Maha Ada, meski tak terlihat. Dan yang terlihat ini sebetulnya adalah manifestasi dari Yang Ada. Ketiadaan di sini bukan berarti menafikan.

Ada kemabukan dan ada kewarasan. Yang boleh memabukkan bukan hanya alkohol dan narkoba. Ada mabuk positif dan ada mabuk negatif. Mabuk bagi seorang sufi adalah supersedar (di atas kesedaran). Kesedaran seperti ini susah dijelaskan. Ketika kita sedang bermesraan dengan Allah, menangis di atas sajadah, terisak-isak, orang lain mungkin melihat kita sedang tidak sedar. Akan tetapi, sebenarnya kita sangat sedar, bahkan kita sedang berada di puncak bersama Allah.

Ketika mencintai seseorang saja kita boleh mabuk, sehingga semalaman, membuat surat, dan lain-lain. Berkhayal, berimaginasi, membayangkan si dia hadir bersama kita. Bagaimana mabuknya kalau kita mencintai Allah?

Seorang sufi yang sedang mabuk kepada Allah, suka mengungkapkan ucapan-ucapan yang terdengar aneh di mata orang lain (syathahat). Misalnya "tak ada di dalam jubahku ini selain Allah". Berarti dalam jubah itu ada dua sosok yang bergumul menjadi satu, hamba dan Tuhan. Atau ungkapan subhânî subhânî (Maha Suci aku). Aku adalah Allah, Allah adalah aku.

Aku ini siapa? Tak ada. Yang ada hanyalah Allah. Hanya Allahlah yang wujud. Selain itu hanya efek dari yang wujud.

Ada penafian dan ada penetapan. Kadang kita ragu, benarkah yang datang di dalam qalbu ini Allah? Jangan-jangan bukan, tetapi hanya imaginasi saja. Di sini terjadi pertentangan antara rasio dan rasa. Maka untuk meyakinkannya, kecilkan rasio dan besarkan rasa. Yakinilah bahwa kita telah mendaki, dan kita sudah sampai puncak. Maka yang kita jumpai pastilah Allah. Maka akan ada penampakan. Dan segala rahsia ghaib pun tersibak.

0

Istimewa Untuk Muslimahku Sayang.....


Muslimah,

Sesungguhnya kejadianmu terlalu indah tercipta daripada tulang rusuk Adam yang bengkok untuk dilindungi dan disayangi, bukannya dicipta daripada kepala untuk disanjung dan dipuja, bukan pula diciptakan daripada kaki untuk dipijak dan dijadikan hamba sahaya. Lantaran daripada ciptaanmu itu, kau umpama sekuntum bunga yang harum aromamu bisa menarik perhatian sang kumbang untuk mendekatimu. Adakah semudah itu kau ingin menyerah diri pada sang kumbang?

Renunglah pada keindahan bunga mawar yang unggul terjaga berpagar duri sebagai bentengnya. Dari kejauhan keharumannya mencuri perhatian. Kilauan warnanya yang memancar indah menjadi tarikan. Namun, lantaran pagaran duri yang berbisa itu, sang kumbang tertunduk kagum terhadap keindahan yang terjaga hinggakan ia berfikir beberapa kali sebelum mendekatinya.


Muslimahku sayang,

Akuilah hakikat kejadian dirimu yang menjadi pelemah kejadian lelaki. Seandainya pakaian malu tinggalkan daripada tubuhmu dan perbatasan aurat kau pandang sebarangan, jadilah dirimu hanya sekuntum bunga yang indah tapi sayang tidak berduri. Kau tidak layak dimahkotakan sebagai si mawar berduri.

Sesungguhnya Utusan Allah ada mengatakan tentang bahaya dirimu.

‘Tidak ada fitnah yang lebih besar selepas wafatku selain daripada fitnah yang berpunca daripada wanita’. Adakah kau mahu penyebab terhumbannya lelaki ke neraka?


Ingatlah duhai muslimahku sayang,

Ingatlah bahawa ciri-ciri wanita yang solehah ialah dia tidak melihat lelaki dan lelaki tidak melihat kepadanya kecuali atas urusan yang diizinkan. Sesuatu yang tertutup itu lebih indah dan berharga jika dibandingkan dengan sesuatu yang terdedah. Yang tertutup itu indah! Alangkah baiknya jika kau memelihara dirimu sebagai hadiah yang kudus,suci,mahal dan berharga buat kumbang terpilih yang telah dijanjikan Allah buatmu.

Indahnya hidup ini andai melayarinya dengan bernaungkan keredhaan Allah, bertunjangkan ilmu dan kebenaran, bersulam akhlak penuh menawan. Sesungguhnya wanita solehah menjadi idaman insan soleh bernama Adam.

‘wanita yang baik itu adalah untuk lelaki yang baik…’

Ya Allah jadikan kami bidadari syurga…

Ameen..

.:.diedit dan diambil dari novel ‘Tautan Hati’ Fatimah Syarha.:.

0

Mengumpat..


“Mengumpat itu ialah apabila kamu menyebut perihal saudaramu dengan sesuatu perkara yang dibencinya” (HR. Muslim). Kata pepatah, apa yang ditanam, itulah yang akan dituai. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana jadinya kalau kita menanam umpatan. Apalagi perbuatan berdosa ini disenangi banyak orang, laki-laki atau perempuan, muda atau tua. Andaikan dapat dilihat, sungguh tanaman-tanaman umpatan ini akan meriap di sudut-sudut negeri ini, yang menebarkan bau busuk yang berbahaya bagi manusia.

Umpatan diibaratkan oleh Rasulullah SAW laksana api yang memakan kayu kering. Tentunya, demikian mudah kayu kering dimakan api. Dalam waktu singkat, semua bisa hangus. Yang dimaksudkan kayu kering di sini ialah amal kebaikan, yang akan segera musnah setiap kali kita mengumpat orang lain.

Padahal belum tentu semua amal yang kita lakukan bernilai kebaikan. Sebahagian atau bahkan seluruh amal menjadi nihil atau bukan kebaikan samasekali, atau bahkan menjadi dosa, apalagi diniatkan untuk yang tidak benar, misalnya. Makanya tidak mengherankan,kalau sebahagian orang dianggap orang yang tertipu. Seakan-akan ia telah melakukan kebaikan, padahal tidaklah demikian. Karena itu, benarlah kata orang bijak. Yaitu, bukan hanya penting mencari (pahala), tetapi juga penting mengelolanya, agar tidak hilang sia-sia. Salah satu caranya ialah tidak mengumpat orang lain.
0

Pernikahan Tanpa Kemewahan


Ketika Nabi Muhammad menikahkan Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib, beliau mengundang Abu Bakar, Umar, dan Usamah untuk membawakan “persiapan” Fatimah. Mereka bertanya-tanya, apa gerangan yang dipersiapkan Rasulullah untuk putri kinasih dan keponakan tersayangnya itu? Ternyata bekalnya cuma penggilingan gandum, kulit binatang yang disamak, kendi, dan sebuah piring.

Mengetahui hal itu, Abu Bakar menangis. "Ya Rasulullah. Inikah persiapan untuk Fatimah?" tanya Abu Bakar terguguk. Nabi Muhammad pun menenangkannya, "Wahai Abu Bakar. Ini sudah cukup bagi orang yang berada di dunia." Fatimah, sang pengantin itu, kemudian keluar rumah dengan memakai pakaian yang cukup bagus, tapi ada 12 tambalannya. Tak ada perhiasan, apalagi pernik-pernik mahal. Setelah menikah, Fatimah senantiasa menggiling gandum dengan tangannya, membaca Alquran dengan lidahnya, menafsirkan kitab suci dengan hatinya, dan menangis dengan matanya.

Itulah sebagian kemuliaaan dari Fatimah. Ada ribuan atau jutaan Fatimah yang telah menunjukkan kemuliaan akhlaknya. Dari mereka kelak lahir ulama-ulama ulung yang menjadi guru dan rujukan seluruh imam, termasuk Imam Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hambali.

Bagaimana gadis sekarang? Mereka, memang tak lagi menggiling gandum, tapi menekan tuts-tuts komputer. Tapi bagaimana lidah, hati, dan matanya? Bulan lalu, ada seorang gadis di Bekasi, yang nyaris mati karena bunuh diri. Rupanya ia minta dinikahkan dengan pujaan hatinya dengan pesta meriah. Karena ayahnya tak mau, dia pun nekat bunuh diri dengan minum Baygon. Untung jiwanya terselamatkan. Seandainya saja tak terselamatkan, naudzubillah min dzalik! Allah mengharamkan surga untuk orang yang mati bunuh diri. Si gadis tadi rupanya menjadikan kemewahan pernikahannya sebagai sebuah prinsip hidup yang tak bisa dilanggar.

Sayang, gadis malang itu mungkin belum menghayati cara Rasulullah menikahkan putrinya. Pesta pernikahan putri Rasulullah itu menggambarkan kepada kita, betapa kesederhanaan telah menjadi "darah daging" kehidupan Nabi yang mulia. Bahkan ketika "pesta pernikahan" putrinya, yang selayaknya diadakan dengan meriah, Muhammad tetap menunjukkan kesederhanaan. Bagi Rasulullah, membuat pesta besar untuk pernikahan putrinya bukanlah hal sulit. Tapi, sebagai manusia agung yang suci, "kemegahan" pesta pernikahan putrinya, bukan ditunjukkan oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Rasul justru menunjukkan "kemegahan" kesederhanaan dan "kemegahan" sifat qanaah, yang merupakan kekayaan hakiki.

Rasululllah bersabda, "Kekayaan yang sejati adalah kekayaan iman, yang tecermin dalam sifat qanaah". Iman, kesederhanaan, dan qanaah adalah suatu yang tak bisa dipisahkan. Seorang beriman, tecermin dari kesederhanaan hidupnya dan kesederhanaan itu tecermin dari sifatnya yang qanaah. Qanaah adalah sebuah sikap yang menerima ketentuan Allah dengan sabar; dan menarik diri dari kecintaan pada dunia. Rasulullah bersabda, "Qanaah adalah harta yang tak akan hilang dan tabungan yang tak akan lenyap."

dicopy:

http://www.marjaathumaira.blogspot.com
0

Fahami Tentang Zhihar

Hukum zhihar sebagaimana yang telah ditetapkan dalam sunan Rasulullah s.a.w adalah bahwasanya ia telah berlaku pada Rasulullah iaitu berlakunya pada sebuah keluarga Khaulah binti Tha’labah, isteri Aus bin Ash-Shamit. Suami Khaulah telah marah lalu dia men-zhihar dirinya. Khaulah lalu pergi menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam dan memberitahukan perkaranya sambil berkata, “Dia tidak bermaksud untuk mentalakku.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku tidak tahu melainkan engkau sebenarnya telah menjadi haram ke atasnya.”[i]

Di dalam hadis ini Rasulullah telah menjadikan zhihar sebagai talak, dan talak itu jatuh walaupun diucapkan dalam keadaan marah. Akan tetapi jika seseorang itu marah sehingga dia hilang akal, talak itu tidak berlaku. Dalam keadaan ini dia menyerupai orang gila, maka berlaku hukum ‘tidak jatuh talak yang lahir dari seorang gila’.[ii]

Di antara ungkapan Jahiliyah yang masih tersebar di kalangan umat ini adalah ungkapan yang menjerumuskan kepada persoalan zhihar. Seperti ucapan seorang suami kepada isterinya, “Bagiku, engkau seperti punggung ibuku; atau engkau haram bagiku, sebagaimana haramnya saudara perempuanku.” Atau ucapan-ucapan kotor lain yang dibenci syari’at, karena di dalamnya mengandung penganiayaan terhadap wanita. Dalam Islam, menzhihar istrinya adalah perkara yang diharamkan. Seorang suami yang mengeluarkan ucapan itu tidak boleh lagi mencampuri istrinya dan tidak pula bermesraan dengannya melalui bagian anggota tubuhnya yang mana saja sebelum dia menebusnya dengan membayar kafarah sebagaimana ketentuan agama.

Dalam Alquran Allah berfirman:


“ Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih”.

(Surah Al-Mujadalah :3-4)


Orang yang menzhihar istrinya dalam jangka waktu sehari atau sebulan, misalnya dia berkata, “Bagiku engkau seperti punggung ibuku selama sebulan” dan dia menepati sumpahnya, maka dia tidak terkena denda. Namun manakala dia mencampuri istrinya sebelum berakhirnya waktu yang telah ditetapkannya, maka dia wajib membayar kafarah zhihar. Syari’at Islam menjadikan kaffarat zhihar demikian berat, yakni hampir menyerupai kaffarat pembunuhan yang tidak disengaja.[i] Demikian pula menyerupai kaffarat jimak pada siang hari di bulan Ramadhan. Seorang yang telah menzhihar istrinya, tidak boleh mendekati istrinya, kecuali setelah ia membayar kaffarat tersebut. Allah mengkategorikan zhihar sebagai perkataan yang mungkar dan dusta. Allah juga mengingkari orang yang menzhihar istrinya, sebagaimana firmannya:


“ Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.


(Surah Al-Mujadalah:2)

Kaum Muslim sebaiknya berhati-hati dengan kalimat yang menjurus ke arah zhihar. Termasuk bila mengucapkannya di saat marah atau dalam pertengkaran antara suami-istri. Mengenai hal ini, jumhur fuqaha berpendapat bahwa kafarat tidak diwajibkan tanpa ada pencabutan kembali kata-kata zhihar.

Mujahid dan Thawus berpendapat, menurutnya kafarat diwajibkan tanpa ada pencabutan kembali kata-kata zhihar dan alasannya berdasarkan firman Allah, “Orang-orang ynag menzhiharkan istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba”. (QS, al-Mujadalah:3).

Dengan metode qiyas, zhihar itu mirip dengan kafarat akibat sumpah. Kafarat wajib dilaksanakan kerna pelanggaran atau keinginan untuk melanggar, demikian itu pula halnya zhihar.

Mujahid dan Thawus mengemukakan alasan bahwa zhihar merupakan suatu perbuatan yang diwajibkan kafarat tertinggi. Maka sudah seharusnyalah perbuatan itu sendiri yang mewajibkan kafarat terebut, bukan perbuatan tambahan. Karena hal ini disamakan dengan kafarat pembunuhan dan berbuka puasa. Di samping itu, fuqaha juga mengatakan bahwa zhihar itu pada mulanya adalah talak di zaman jahiliyyah, kemudian keharaman zhihar itu dibatalkan dengan cara membayar kafarat. Dan itulah pengertian yang dimaksud oleh mereka. “menurut mereka, yang dimaksud dengan al-aud (kembali) adalah kembali kepada islam.[i]

Manakala kebanyakan ulama fikih berpendapat, yakni imam syafi’e mengatakan maksud kata “kembali” adalah mempertahankan istri setelah dia dizhihar dalam waktu yang cukup untuk menjatuhkan talak, tapi dia tidak menalaknya. Menyamakan istri dengan ibu menuntut adanya talak. Dan mempertahankannya sebagai istri setelah zhihar bertentangan dengan tlak tersebut. Jadi jika suami sudah berkeinginan untuk mempertahankan istrinya, berarti dia telah menarik balik ucapan zhiharnya dan hal ini bertentangan dengan ucapan yang telah dia katakan sebelumnya.

Pendapat Qatadah, Said bin jubair, Abu hanifah dan murid-muridnya berpendapar bahwa “kembali” artinya bersetubuh yang sebelumnya diharamkan karena zhihar.jika seorang suami ingin menyetubuhi istrinya, nerarti dia telah kembali dari keinginan menjadikan istri layaknya ibunya menjadi istrinya, baik pada akhirnya dia menyetubuhi atau pun tidak.

Menurut Imam Malik, keinginan untuk bersetubuh, meski pun belum dilakukan, sudah cukup mewakili keinginannya untuk mempertahankannya sebagai istri. Daud, Syu’bah dan mazhab Zhahiri berpendapat, seseorang diwajibkan membayar kafarat atas zhihar yang diucapkannya kepada istrinya jika dia mengucapkan kata zhihar dua kali, jika dia hanya mengucapkan kata zhihar untuk kali pertama dia tidak diwajibkan membayar kafarat.[i]

Kafarat zhihar adalah atau denda puasanya menjadi sah dengan syarat-syarat sebagai berikut :

Pertama: dia tidak mampu memerdekan budak.

Kedua : puasanya dilakukan selama dua bulan berturut-turut atau berselang seli seminggu sekali.

Ketiga : jika ia membayar dendanya dengan memberi makan fakir miskin, maka disyaratkan sebagai berikut :

1.Dia tidakmampu untuk berpuasa

2.Orang miskin yang diberinya makan adalah orang muslim yang merdeka yang

boleh menerima zakat.

3.Makanan atau pakaian yang deberikan kepada orang tersebut tidak boleh kurang daru kebutuhan sehari-harinya yang layak (satu mud gandum dan setengah sha’ dari yang lain).(satu sha’ = 2.176 kg.-pent).[ii]

Inilah ajaran agama kita yang sangat mulia, yang selalu menjanjikan solusi yang pada setiap permasalahan yang muncul. Termasuk di dalamnya masalah yang terjadi dalam rumah tangga, seperti masalah zhihar yang biasa terjadi pada zaman jahiliyyah akan tetapi tidak pernah ada jalan keluar kecuali dengan bercerai dan memisahkan kehidupan keluarga yang tertimpa hal tersebut. Maka sungguh mulia agama kita ini.

Apa lagi, kita melihat dalam membayar denda pun islam memperhatikan kondisi sang suami. Syariat tentang cara pembayarannya juga disesuaikan dengan kondisi sang suami dan kemampuan yang dapat mereka lakukan dari ketiga pilihan yang diharuskan tersebut, yaitu memilih dengan memerdekakan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang fakir miskin. Segala puji bagi Allah yang telah mengatur semua ini.[iii]

p/s :
hasil makalah ana dalam matakuliah perceraian dalam islam.
sekadar pemahaman bagi yang membaca..hehe (^_^)


[i] Sayyid Sabiq, FiqhSunnah, Tahkik dan Tkhrij: Muhammad Nasirudin Al-Albani, jilid 4. hlm 101.

[ii] Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari. Hlm 720

[iii] Ibid, hlm 721.



[i] Abdul Latif b. Muda, Huraian Ayatayat Hukum 2, hlm 239-262.

0

Pemimpin Usah Fanatik

DI antara kita adalah pemimpin sama ada untuk komuniti kecil seperti di organisasi, jabatan, kawasan atau keluarga.

Pemimpin ialah orang memimpin dan diikuti, manakala kepemimpinan ialah mekanisme yang menjadi sumber utama melahirkan proses untuk mengubah sikap dan pandangan.


Nabi Muhammad s.a.w contoh pemimpin terbaik dalam semua lapangan, daripada institusi keluarga, kepemimpinan negara, model kepada orang Islam dan bukan Islam.

Penyandang Kursi Syeikh Abdullah Fahim, Datuk Dr Ismail Ibrahim, berkata kepemimpinan dalam Islam adalah amanah Allah.

Beliau berkata, pemimpin wajip memandu pengikutnya, melindungi dan mengendalikan urusan mereka dengan adil dan saksama menurut lunas diredai Allah.

"Pemimpin harus mendidik dirinya terlebih dahulu, sebelum mendidik pengikutnya, meningkatkan moral dan akhlaknya terlebih dulu sebelum memperbetulkan orang lain," katanya di syarahan umum bertajuk Kepimpinan Dunia Islam: Krisis dan Cabaran di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Bangi, baru-baru ini.

Dalam konteks Islam, pemimpin bertanggungjawab memimpin manusia daripada kehancuran dan maksiat kepada keredaan Allah.

Jika gagal, berlakulah kerosakan yang bertimpa-timpa. Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan 'rakyat rosak akibat rosaknya pemerintah dan pemerintah jadi rosak akibat daripada kehadiran ulama yang buruk.

Dr Ismail berkata, Islam menggariskan banyak prinsip dalam kepemimpinan, antaranya ialah pemimpin seharusnya kuat dalam akidah, adil dan jujur, berpandangan luas dan tidak fanatik pada golongan tertentu.

"Pemimpin perlu berpengetahuan dan memiliki kemampuan dalam bidang dipimpin, amanah, telus dan tidak mementingkan diri.

"Kegagalan kepemimpinan akan berlaku jika pemimpin bersikap individualistik, materialistik, taksub dan fanatik kepada golongan, tidak berilmu dan tidak beramanah," katanya.

Kepemimpinan Islam katanya, menghadapi cabaran besar dalam arus penjajahan Barat, proses globalisasi, dominasi teknologi maklumat dan komunikasi ke atas dunia moden, dasar langit terbuka dan kebergantungan pemimpin Islam kepada kuasa besar dunia demi kepentingan diri.

"Penjajahan masih berada di dalam dunia Islam kerana dunia Islam mempunyai kekayaan kurniaan Allah sehingga melahirkan peperangan salib petrol.

"Dunia Islam menghadapi peperangan dengan dasar yang dikenali sebagai Pertembungan Peradaban.

"Akibatnya Perang Dunia Keempat sedang berlaku kini di antara dunia Islam dan Barat," katanya.

Menurutnya, imej Islam mutakhir ini sangat tercemar, malah bagi bukan Islam, mereka dipanggil pengganas.

"Justeru, kita perlu kepemimpinan seimbang, dasar sendiri dan jangan radikal dalam semua hal termasuk menjaga imej supaya tidak terlalu ekstrim," katanya.


referensi :

http://www.hmetro.com.my/
0

Tiga

“Mencari rezeki yang halal adalah wajib, sesudah menunaikan yang fardhu (seperti sholat, puasa, dll). (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi).

Orang-orang tua dahulu sering memperingatkan tiga faktor yang sering membuat manusia “bertekuk lutut”, iaitu harta, takhta, dan wanita. Kejadian-kejadian selama ini sudah cukup bagi kita untuk mengangguk setuju, tak terkecuali yang menimpa orang-orang penting di pemerintahan. Memang, faktor yang disebut terakhir cenderung ditujukan kepada kaum Hawa, meskipun laki-laki juga demikian. Namun, bukan berarti Islam menutup peluang untuk memiliki ketiga-tiganya.

Terhadap harta, misalnya, dipersilakan untuk diusahakan dan bahkan dianjurkan dengan cara melakukan pekerjaan halal. Dilarang berpangku tangan tanpa bekerja dalam hidup ini. Sebab, yang demikian antara lain akan menciptakan beban kepada hamba-hamba yang lain dan menimbulkan kejahatan-kejahatan lain.

Berikutnya, meraih takhta tidak dilarang, asalkan dengan cara yang baik. Di antara nabi pun, ada yang meraih tahta, baik yang disebut sebagai raja mahu pun sebagai khalifah. Nabi Sulaiman a.s. adalah di antara raja yang paling terkenal sepanjang sejarah. Begitu juga Nabi Yusuf a.s. Nabi Muhammad SAW juga seorang kepala pemerintahan di masanya. Semua diraih dengan cara yang baik dan bertujuan baik, iaitu memimpin dan memperbaiki nasib umat.

Demikian juga halnya memiliki wanita; tidak diharamkan, asalkan melalui cara yang halal, iaitu jalur pernikahan. Bahkan, diberikan pahala besar bila seseorang menikah. Sebaliknya, berdosa, bila seseorang sudah cukup umur dan memiliki bekal tidak melakukan perkhawinan.

Solusinya(Inti), ketiga hal itu seharusnya tidak menjerumuskan, kalau dilakukan dengan baik-baik. Tetapi mengapa (sebahagian) kita lebih suka memilih cara yang menjerumuskan diri sendiri?
0

Panduan Lengkap Nikah (dari A- Z)

Judul : Panduan Lengkap Nikah (dari A- Z)

Penulis : Abu Hafs Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq

Berat : 875 gram

Deskripsi : Menikah merupakan hal yang sangat dianjurkan di dalam agama Islam dan merupakan bagian dari sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebagliknya, membujang merupakan hal yang sangat tercela didalam Islam, kerana hal itu merupakan kebiasaan sebahagian kalangan nashrani. Pernikahan yang sukses dalam rangka membangun rumah tangga yang bahagia merupakan idaman setiap orang. namun hanya sedikit orang yang mengetahui jalan dan saranan yang dapat mengantarkannya kepada kebahagiaan tersebut. Terkadang mahligai yang mereka harapkan sebagai tempat yang sejuk, penghilang kepenatan kerja sehari penuh dan pelupa beban fikiran malah menjadi tempat yang sangat menyeksa ibarat neraka. Isteri dan anak yang diharapkan sebagai sahabat, pelipur hati yang lara dalam suka duka dan penghibur hati yang gundah, ternyata ketika memandang mereka bukan membuatnya bahagia, malah berubah menjadi musuh yang seram dan menakutkan.

Ketahuilah, kebahagiaan yang hakiki hanya dapat diraih dengan ketaqwaan kepada Allah SWT, dan hanya dapat diwujudkan dengan mengikuti petunjuk Allah SWT dan petunjuk Rasulullah SAW. Buku dihadapan pembaca ini merupakan buku yang sangat berharga, dan membimbing kita sekalian menuju kebahagiaan rumahtangga yang hakiki. Didalamnya dijelaskkan segala hal yang dapat menghantarkan kepada tujuan tersebut, mulai dari cara memilih calon istri maupun suami, meminang yang islami, syarat pernikahan, walimah(pesta) yang islami, hak-hak suami mahu pun isteri, akhlak dan etika menggauli isteri, nasihat-nasihat kepada kedua mempelai dan contoh-contoh keteladanan orang-orang shalih baik lelaki (pria) mahu pun wanita di dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Mudah-mudahan dengan membaca buku ini dan menerapkan isinya insyAllah rumah tangga kita selalu mendapatkan keridhaan Allah SWT dan senantiasa berada di dalam kebahagiaan yang hakiki, aamiin.

2

Esok Khawin.....

Kepada Seseorang Yang Memimpikan …. ….

Kepada Seseorang Yang Merindukan …. ….

Inilah Untaian Kata-Kata Indah …. ….

Sebagai Hadiah Saudaraku Yang Kan Menikah

Nikah, sebuah kata indah nan mempesona. Dialah harapan setiap insan manusia terutama khawin muda. Dengan menikah hidupkan semakin indah dan berharga, dan terjalin cinta kasih diatas ikatan suci. Alangkah indahnya pernikahan, alangkah bahagianya mereka yang menikah, hingga pena ini rasanya tak sanggup untuk mengungkapkan dan mengukir keindahan itu diatas kertas. Tidak ada yang lebih bisa menggambarkan keindahan pernikahan ini selain Yang Maha Pencipta lagi Maha Kuasa

yang telah berfirman :

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS.Ar-Ruum : 21).

Nikah bukan hanya sekadar mewujudkan fitrah manusia yang selalu mendambakan pendamping dalam hidup ini, tapi lebih dari itu nikah adalah ibadah yang diperintahkan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya :

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak (hamba) yang kamu miliki.” (QS.An-Nisaa’ : 3)

dan dalam firman-Nya :

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS.An-Nuur : 32).

Nikah juga merupakan perwujudan dari sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam :

يَا مَعشَرَ الشَبَابِ مَن استَطاعَ مِنكُم البَاءَة فَليَتَزَوَّج فَإِنَّه أَغَضُّ لَلبَصَرِ وأَحصَنُ لِلفَرجِ وَمَن لَم يَستَطِع فَعَلَيهِ بِالصَومِ فَإِنَّه لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu untuk menikah maka menikahlah, karena dengan menikah (engkau) lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginya” (HR.Bukhori dan Muslim).

Menikah dapat bernilai ibadah jika diniatkan ikhlas karena Allah dan untuk menjaga diri dari fitnah syahwat, khususnya di zaman sekarang ini, dimana pornografi dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang memenuhi setiap sudut jalanan, menggoda dan membangkitkan nafsu syahwat anak adam. Terkadang ada sebahagian yang sudah berjilbab (memakai tudung) tapi masih memakai pakaian dan seluar jeans yang ketat yang menggoda para pemuda, maka takutlah wahai kaum muslimah dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam :

صِنفَانِ مِن أَهلِ النَارِ لَم أَرَهُمَا , قَومٌ مَعَهُم سِيَاطٌ كَأَذنَابِ البَقَر يَضرِبُون بِهَا النَاسَ , وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ , مُمِيلاتُ مائِلاتُ , رُؤُوسُهُنَّ كَأَسنِمَةِ البُختِ المَائِلَة , لا يَدخُلنَ الجَنّة , وَلا يَجِدنَ رِيحَها , وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ كَذَا و َكَذَا

“Dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihat keduanya, 1. Sekelompok orang yang memegang cemeti seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengannya 2. Perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang, berjalan berlenggang lenggok menjerumuskan (manusia kejurang kenistaan-pent), rambutnya seperti punuk unta, mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal bau surga tercium pada jarak demikian dan demikian” (HR.Muslim).

Imam Nawawi rahimahullahu menjelaskan arti ‘berpakaian tapi telanjang’ dengan ucapan beliau : (Mereka menutup sebagian badannya dan membuka sebagian yang lainnya dalam rangka mempamerkan (keindahan) tubuhnya. Boleh juga maknanya adalah dia memakai pakaian yang tipis dan menerawang hingga terlihat warna kulit tubuhnya) (Syarah Shahih Muslim 14/336).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda :

َاتَّقُوا الدُنيَا واتَّقُوا النِسَاءَ فَإِنَّ فِتنَةَ بَنِي إِسرَائيل كانت في النساء

“Berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan berhati-hatilah kalian terhadap wanita, karena fitnah pertama kali yang menimpa Bani israil adalah wanita“ (HR.Muslim)

Dan bagi mereka yang ingin menikah, hendaknya memilih calon isteri yang sholehah, yang mengerti ilmu agama dan taat menjalankan ibadah, agar dia dapat hidup berbahagia di dunia dan diakhirat bersamanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :

تُنكَحُ المَرأَةُ لأَربَعٍ لِمَالِهَا وَحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَدِينِهَا فَاظفَر بِذَات الدِينِ تَرِبَت يَدَاكَ

“Perempuan itu dinikahi karena 4 hal : karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka carilah yang agamanya baik maka engkau akan beruntung “ (HR.Bukhori dan Muslim).

Beliau juga bersabda :

الدُنيَا كُلُّهَا مَتَاعٌ وَخَيرُ مَتَاعِ الدُنيَا المَرأَةُ الصَالِحَةُ

“Dunia ini semuanya adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita sholehah“ (HR.Muslim).

Terlebih lagi isteri adalah pendidik anak-anak kita, kalau dia baik agamanya maka –insya Allah- akan baik generasi islam ini, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair :

الأُمُّ مَدرَسَة إِذَا أَعدَدتَهَا أَعدَدتَ شَعبًا طَيبَ الأَعرَاق

Ibu adalah sekolah, jika engkau menyiapkannya
Berarti engkau telah menyiapkan generasi yang baik dan tangguh

Dan islam memberikan kesempatan bagi siapa saja yang ingin menikahi seorang perempuan untuk melihatnya terlebih dahulu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda : “Apabila seseorang sudah ada keinginan untuk melamar seorang perempuan maka dibolehkan baginya untuk melihatnya“ (Ash-Shohihah 98).

Tapi islam melarang kaum muslimin dari jalan-jalan syaitan dan dari jembatan menuju perzinaan yang diistilahkan dengan pacaran sebelum pernikahan. Allah ta’ala berfirman :

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS.Al-Isro’ : 32).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda : “Tidaklah seorang lelaki bersepi-sepian (berduaan) dengan seorang perempuan melainkan setan yang ketiganya“ (HSR.Tirmidzi).

Kemudian bagi mereka yang telah mengikrarkan akad nikah untuk membangun sebuah rumah tangga, hendaknya mengukuhkan bangunan rumah tangganya tersebut dengan hal-hal berikut ini :

1- Iman dan taqwa kepada Allah ta’ala

Allahlah dzat yang mengikatkan tali cinta kasih antara dua sejoli. Allah ta’ala berfirman :

وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.Al-Anfal : 62).

Hati terkadang cinta dan terkadang benci, kerana memang hati manusia ada diantara dua jemari Allah ta’ala, Dialah yang membolak-balik kan hati ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :

إِنَّّ قُلُوبَ بَنِي آدَم كُلُّهَا بَينَ أُصبُعَينِ مِن أَصَابِعِ الرَحمَنِ كَقَلبٍ وَاحِدٍ يَصرِفُهُ حَيثُ شَاءَ

“Sesungguhnya hati anak Adam semuanya ada diantara dua jemari dari jemari-jemari Allah seperti satu hati, Dialah yang mengaturnya sesuai dengan kehendak-Nya” (HR.Muslim)

Oleh karena itu, hendaknya suami-istri mempererat hubungannya dengan Allah ta’ala dengan memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada-Nya dalam mengharungi bahtera kehidupan ini. Terlebih lagi, bahtera rumah tangga tidak semudah yang dikira, badai dan gelombang, duri dan kerikil-kerikil tajam kan selalu menghadang. Selama manusia hidup didunia ini tak ada yang kekal abadi, semuanya kan silih berganti bak malam dan siang hari. Kebahagiaan dan kesengsaran, kesenangan dan kesedihan, suka dan duka, menangis dan tertawa bak dua sejoli yang tak kan terpisah selama manusia hidup di dunia ini. Allah ta’ala berfirman :

وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ

” Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia“ (QS.Ali Imron :140).

Seorang penyair berkata :

لِكُلِّ شَىءٍ إذَا مَاتَمَّ نُقصَانُ فَلا يُغَرَّ بِطِيبِ العَيشِ إِنسَانُ
هِيَ الأُمُورُ كَمَا شَاهَدَتهَا دُوَلٌ مَن سَرَّهُ زَمَنٌ سَاءَتهُ أَزمَانُ
وَهَذِهِ الدَارُ لا تَبقَى عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَدُومُ عَلَى حَالٍ لَها شَانُ

Segala sesuatu apabila telah sampai kepada puncaknya dia akan turun
Oleh karena itu, janganlah manusia ini tertipu dengan keindahan dunia
Hal ini sebagaimana yang telah disaksikan oleh setiap bangsa
Barangsiapa yang hari ini senang, hari-hari berikutnya dia akan susah
Dunia ini tidak pernah kekal abadi bagi semua orang
Dan tidak akan tetap manusia ini pada satu keadaan

Maka dari itu, bagaimanapun tingginya martabat seseorang pasti dia membutuhkan pertolongan Dzat Yang Maha Kuasa lagi Maha Mulia untuk menghilangkan musibah atau duka yang dialaminya. Dialah (Allah) satu-satunya yang dapat mendatangkan manfaat dan madhorot, yang dapat mengabulkan permohonan hamba-Nya jika dia memohon kepada-Nya, dan yang dapat menghilangkan kesulitan dan kesempitan hidup hamba-hamba-Nya. Allah ta’ala berfirman :

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

“Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya).” (QS.An-Naml : 62).

Tidak ada satu makhluk pun yang bisa menghilangkan kesusahan atau madhorot yang menimpa manusia, baik dia itu seorang wali, sunan, tuan guru maupun seorang Nabi atau malaikat. Allah ta’ala berfirman :

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfa`atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (QS.Al-A’roof : 188)

Maka bertaqwalah -wahai manusia- kepada Allah pasti Dia akan selalu menolongmu. Allah ta’ala berfirman :

ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا(2)وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS.Ath-Tholaq : 2-3)

Diantara bentuk ketakwaan suami isteri dalam mempererat serta mengukuhkan rumah tangga adalah dengan saling nasihat menasihati untuk menjalankan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam. Lihat dan renungkanlah betapa indah dan harmonisnya rumah tangga yang dibangun diatas Al-Qur’an dan sunnah serta metode para sahabat –rodhiyallahu anhum- yang telah digambarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam haditsnya : “Allah merahmati seorang suami yang bangun pada malam hari untuk melaksanakan shalat (malam/tahajjud) lalu dia juga membangunkan istrinya hingga shalat. Jika istrinya enggan untuk bangun dia percikan air kewajahnya. Dan Allah merahmati seorang istri yang bangun dimalam hari untuk melaksanakan shalat (malam/tahajjud) lalu dia membangunkan suaminya hingga shalat. Jika suaminya enggan untuk bangun dia percikan air kewajahnya“ (HR.Ahmad, Nasai, dan Ibnu Majah dan derajatnya hasan shohih).

Sesungguhnya ikatan dan hubungan suami istri bukan hanya hubungan nafsu syahwat yang berakhir didunia ini. Tapi lebih dari itu, hubungan suami istri adalah hubungan roh yang masih akan berlanjut sampai disurga kelak (jika memang keduanya beriman dan bertakwa kepada Allah). Allah ta’ala berfirman :

جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ ءَابَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ

“(yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya” (QS.Ar-Ro’du : 23)

2- Muamalah yang baik antara suami istri

Sesungguhnya diantara hal-hal yang bisa menjaga kerukunan dan keharmonisan rumah tangga adalah muamalah yang baik antara suami istri. Dan hal tersebut tidak bisa terwujud melainkan dengan keduanya mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Dan yang perlu diketahui oleh suami dan isteri bahwa tidak ada yang sempurna didunia ini, setiap mereka punya kelebihan dan kekurangan. Adapun mencari pasangan yang sempurna maka ini hanya khayalan yang mustahil untuk digapai dan didapatkan.

A- Tugas suami dalam menjaga keutuhan rumah tangga

Seorang suami yang memiliki akal pikiran cemerlang dan baik akan selalu menerima kekurangan isterinya dengan lapang dada. Suami adalah pemimpin rumah tangga, dia hendaknya memiliki kesabaran yang lebih dibandingkan seorang isteri. Dan hendaknya seorang suami mengetahui bahwa wanita itu lemah akal dan agamanya. Jika seorang isteri selalu diminta untuk sempurna dalam segala hal, tidaklah mungkin dia bisa memenuhinya.

Berlebihan dalam mendidik dan meminta kepada isteri akan mengakibatkan kerentakan dalam rumah tangga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda : “Nasihatilah kaum wanita (para isteri) dengan baik. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk dan sebengkok-bengkoknya tulang rusuk adalah yang diatas. Jika engkau ingin meluruskannya maka bisa jadi engkau akan mematahkannya dan jika engkau biarkan mereka, mereka akan senantiasa dalam keadaan bengkok. Nasihatilah kaum wanita dengan baik“ (HR.Bukhori dan Muslim) Kebengkokan (banyaknya kelemahan dan kekurangan) seorang isteri termasuk tabiat mereka, maka mereka harus diperlakukan dengan penuh kesabaran.

Seorang suami tidak selayaknya untuk terus mengungkit-ungkit perasaan kesal dan sedih dalam rumah tangganya (isterinya). Tapi hendaknya dia memalingkan wajahnya dari aib-aib yang ada dalam diri isterinya dan mengingat kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :

لاَ يَفرَك مُؤمِنٌ مُؤمِنَةً إِن كَرِه مِنهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci mukminah (isteri). Jika dia membenci sebagian perangainya hendaklah dia redha (ingat) kebaikan-kebaikannya yang lain” (HR.Muslim)

Hendaknya seorang suami menasihati sang isteri dengan penuh lemah lembut, dan tidak diperbolehkan untuk membiarkan isteri dengan kelemahannya tersebut masuk kejurang kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman :

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Dan bergaullah dengan mereka secara baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS.An-Nisa’ : 19)

Bagaimana mungkin akan terwujud keluarga sakinah (tenteram), mawaddah (kasih) dan rohmah (sayang) ? jika kepala rumah tangga berperangai kasar dan keras serta selalu sempit hati dan pandangannya, selalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, mudah marah dan sulit memaafkan, jika masuk rumah selalu berlagak sombong dan jika keluar rumah selalu berburuk sangka kepada isterinya.

Kebahagiaan dan muamalah yang baik tidak bisa diwujudkan melainkan dengan sikap lemah lembut dan jauh dari prasangka-prasangka buruk yang tidak ada buktinya. Kecemburuan terkadang membawa seorang suami kepada buruk sangka dan mencari-cari kesalahan, sehingga bisa merusak kehidupan rumah tangganya. Allah ta’ala berfirman :

وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ

“Dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka” (QS.Ath-Tholaq : 6).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda :

خَيرُكم خَيرُكم لأَهلِهِ وأَنَا خَيرُكم لأَهلِي

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya) dan aku adalah sebaik-baik kalian bagi keluargaku”(HSR.Tirmidzi dan Ibnu Majah)

B- Tugas seorang istri dalam menjaga keutuhan rumah tangga

Seorang isteri (sholehah) hendaklah mengetahui bahwa kebahagiaan, mawaddah dan rohmah tidak akan bisa digapai (dalam rumah tangga) melainkan ketika dirinya menjaga kesucian diri dan agamanya, dia mengetahui hak dan kewajibannya serta tidak melampaui batasannya, dan dia selalu mentaati suaminya yang merupakan pemimpin, pemberi nafkah dan pelindung dalam rumah tangganya. Taat kepada suami (dalam hal yang tidak menyelisihi syariat) adalah kewajiban bagi seorang isteri, demikian juga dengan menjaga amanah dan harta sang suami.

Seorang isteri yang sholehah adalah yang menekuni pekerjaan rumahnya, menjadi seorang isteri yang baik bagi suaminya dan ibu yang baik bagi anak-anaknya. Dia mensyukuri segala kebaikan suaminya dan tidak mengingkarinya, kerana nabi telah bersabda : “Aku diperlihatkan neraka, dan aku lihat kebanyakan penghuninya adalah wanita, (karena) mereka banyak kufur (mengingkari)”. Lalu beliau ditanya : “apakah mereka kufur kepada Allah?” Nabi menjawab : “tidak, tapi mereka mengingkari (kebaikan) suaminya. Seandainya engkau berbuat baik kepadanya seumur hidupmu kemudian dia melihat sedikit saja dari kesalahanmu maka dia akan berkata : “Aku tidak pernah sedikitpun melihat kebaikanmu“ (HR.Bukhori)

Maka haruslah ada saling pengertian dan saling memaafkan, dan tidak boleh bagi seorang isteri untuk menyakiti hati suaminya dikala ada dihadapannya dan tidak boleh mengkhianatinya dikala dia sedang berpergian. Dengan inilah akan tercipta saling merindukan dan meredhai, serta terwujud rumah tangga sakinah mawaddah dan rohmah. Dari sinilah akan muncul generasi muslim yang istiqomah dijalan Allah yang tidak pernah mendengar persengketaan antara orang tua atau keretakan dalam keluarga.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.Al-Furqon : 74).

Seorang penyair mengatakan :

لَيسَ الفَتَاةُ بِمَالِهَا وَجَمَالِهَ ا كَلا وَلا بِمفَاخر الآبَاء
لكِنَّهَا بِعَفَافِها وَبِطهرِها وَصَلاحِها للزَوجِ والأَبنَاء
وَقِيَامِها بِشُؤُونِ مَنزِلِها وَاَن تَرعَاك في السَرَّاءِ والضَرَّاء

Perempuan itu bukanlah dilihat dari harta dan kecantikannya
Sekali-kali bukan itu, begitu juga tidak dilihat dari silsilah nenek moyangnya
Tapi perempuan itu dilihat dari kesucian dan agamanya
Dan (dilihat) dari kebaikannya kepada suami dan anak-anaknya
Serta (dilihat) dari ketekunanya dalam menjalankan tugas rumahnya
Dan dia selalu menemanimu dikala suka dan duka

INILAH HADIAH UNTUK PERNIKAHANMU… WAHAI SAHBATKU
SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU…

Barangsiapa yang telah menikah berarti dia telah menjalankan separuh agamanya, maka bertaqwalah kepada Allah untuk mencapai separohnya lagi

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيكَ وَجَمَعَ بَينَكُما في خَيرٍ

0

Kemarin, sekarang (hari ini) & esok..


Tiga hari dalam hidupmu…

Kemarin, sekarang dan esok..

Kemarin..
Telah berlalu, ambillah pelajaran agar terhindar dari kesalahan nanti..

Sekarang..
Sedang berjalan, manfaatkanlah sebelum ia meninggalkanmu menjadi kemarin yang telah lalu..

Esok..
Yang akan datang, Jauhilah kekhawatiran dan takut akan esok sebelum ia datang..

Kemarin, sekarang dan esok..
Tiga hari dalam hidupmu, manfaatkanlah agar terbebas dari gundah-gulana, rugi dan sesal..

Janganlah kau tangisi kemarin..
Janganlah kau biarkan sekarang pergi dengan sia-sia..
Janganlah kau takut akan esok yang belum pasti..

Gunakan harimu untuk beramal sholeh, raihlah sukses agar tiga hari tak berlalu dengan sia-sia..


dipetik dan digubah dari buku terjemahan Haakadza.. Tahaddatsas Salaf (Potret Kehidupan para Salaf)

0

Qana’ah



“Ya Allah, tiada yang mudah selain yang Engkau mudahkan, dan Engkau jadikan kesusahan itu mudah jika Engkau menghendakinya” (HR. Ibnu Hibban).

Sungguh indah prinsip hidup yang ditawarkan Islam. Kalau digunakan, akan tahan banting dari resesi hidup, dan bebas sakit hati, gila, atau depresi. Itulah prinsip hidup qana’ah.

Prinsip hidup qanaah ialah hidup dengan merasa cukup dengan segala nikmat yang telah diberikan Allah. Namun demikian, qana’ah bukanlah hidup berpangku tangan tanpa berusaha, lantas berharap rezeki dari Allah. Qana’ah malah hidup dengan cara tetap aktif berusaha dan bersyukur. Perkara jumlah rezeki didapat setelah diusahakan, diserahkan sepenuhnya kepada Sang Pemberi rezeki, Allah SWT. Diberi sedikit disyukuri; diberi banyak apalagi.

Qana’ah merupakan prinsip hidupnya orang-orang yang optimis. Optimis bahwa rezeki itu tidak datang kecuali dari Allah. Optimis bahwa rezeki yang sesungguhnya adalah yang halal dan diperoleh dengan cara halal pula. Sebab, yang demikianlah yang menenteramkan batin dan menjanjikan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sedangkan yang tidak halal, yang dicari dengan hasrat rakus dan angan-angan, akan menimbulkan kesengsaraan. Bahkan, kesengsaraan itu timbul baik sebelum atau sesudah memperoleh apa yang didambakan. Sebelum memperolehnya akan timbul rasa sakit di hati, sesak di dada, dan kegelisahan di fikiran. Bila pun diperoleh, akan menjadi penyakit, baik penyakit pada fisik maupun penyakit pada jiwa.

Jadi, kalau hidup sudah sedemikian tinggi rakusnya terhadap kebendaan duniawi sehingga merusak pikiran, itu tanda-tanda telah jauh dari prinsip qana’ah. Dengan kata lain, itu hidup yang jauh dari jalan yang ridhai Allah.


Referensi :


http://www.serambinews.com/
2

Menikah, Kenapa Takut?


Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat, dan mempertontonkan perzinaan. Bila mereka berani kepada Allah dengan melakukan tindakan yang tidak hanya merosak diri, melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga, mengapa kita takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah tangga yang kukuh? Bila kita beralasan ada risiko yang harus dipikul setelah menikah, bukankah perzinaan juga punya mengundang risiko? Bahkan risikonya lebih besar. Bukankankah melajang ada juga risikonya?

Hidup, bagaimanapun adalah sebuah risiko. Mati pun risiko. Yang tidak ada risikonya adalah bahwa kita tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita berpikir bagaimana lari dari risiko, itu pemecahan yang mustahil. Allah tidak pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan yang mustahil. Bila ternyata segala sesuatu ada risikonya, maksiat maupun taat, mengapa kita tidak segera melangkah kepada sikap yang risikonya lebih baik? Sudah barang tentu bahwa risiko pernikahan lebih baik daripada risiko pergaulan bebas (baca: zina). Kerananya Allah mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan.

Saya sering ngobrol (bercakap), dengan kawan-kawan yang masih melajang, padahal ia mampu untuk menikah. Setelah saya kejar alasannya, ternyata semua alasan itu tidak berpijak pada fondasi yang kuat: ada yang beralasan untuk mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada yang beralasan untuk mencari ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas mengenai mengapa kita harus segera menikah? Sekaligus di celah pembahasan saya akan menjawab atas beberapa alasan yang pernah mereka kemukakan untuk membenarkan sikap.

Menikah itu Fitrah

Allah Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar berpasang-pasangan. Wa min kulli syai’in khalaqnaa zaujain, dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-Dzariyaat: 49). Ada siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing memainkan fungsinya sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah rencanakan. Tidak ada dari sunnah tersebut yang Allah ubah, bila dan di manapun berada. Walan tajida lisunnatillah tabdilla, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah (Al-Ahzab: 62). Walan tajida lisunnatillah tahwiila, dan kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu. (Al-Isra: 77)

Dengan melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan diri pada posisi bahaya. Karena tidak mungkin Allah meletakkan sebuah sunnah tanpa ada kesatuan dan keterkaitan dengan sistem lainnya yang bekerja secara sempurna secara universal.

Manusia dengan kecanggihan ilmu dan peradabannya yang dicapai, tidak akan pernah mampu menggantikan sunnah ini dengan cara lain yang dikarang otaknya sendiri. Mengapa? Sebab, Allah swt. telah membekali masing-masing manusia dengan fitrah yang sejalan dengan sunnah tersebut. Melanggar sunnah artinya menentang fitrahnya sendiri.

Bila sikap menentang fitrah ini terus-menerus dilakukan, maka yang akan menanggung risikonya adalah manusia itu sendiri. Secara kasat mata, di antara yang paling tampak dari rahsia sunnah berpasang-pasangan ini adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dari masa ke masa sampai titik waktu yang telah Allah tentukan. Bila institusi pernikahan dihilangkan, bisa dipastikan bahwa mansuia telah musnah sejak ratusan abad yang silam.

Mungkin ada yang nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan keturunan tidak mesti dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun boleh. Anda boleh berkata demikian. Tetapi ada sisi lain dari fitrah yang juga Allah berikan kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan kasih sayang, mawaddah wa rahmah. Kedua sisi fitrah ini tidak akan pernah mungkin tercapai dengan hanya semata pergaulan bebas. Melainkan harus diikat dengan tali yang Allah ajarkan, yaitu pernikahan. Karena itulah Allah memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang paling tepat menurut Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih dari daripada bimbingan Allah.

Allah berfirman fankihuu, dengan kata perintah. Ini menunjukan pentingnya hakikat pernikahan bagi manusia. Jika membahayakan, tidak mungkin Allah perintahkan. Malah yang Allah larang adalah perzinaan. Walaa taqrabuzzina, dan janganlah kamu mendekati zina (Al-Israa: 32). Ini menegaskan bahwa setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah haram, apalagi melakukannya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar manusia hidup bahagia, aman, dan sentosa sesuai dengan fitrahnya.

Mendekati zina dengan cara apapun, adalah proses penggerogotan terhadap fitrah. Dan sudah terbukti bahwa pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana. Tidak saja pada hancurnya harga diri sebagai manusia, melainkan juga hancurnya kemanusiaan itu sendiri. Tidak jarang kasus seorang ibu yang membuang janinnya ke selokan, ke tong sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, hanya karena merasa malu menggendong anaknya dari hasil zina.

Perhatikan bagaimanan akibat yang harus diterima ketika institusi pernikahan sebagai fitrah diabaikan. Bisa dibayangkan apa akibat yang akan terjadi jika semua manusia melakukan cara yang sama. Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya liman yuridduz zawaj mengatakan, “Orang yang hidup melajang biasanya sering tidak normal: baik cara berpikir, impian, dan sikapnya. Ia mudah terpedaya oleh syaitan, lebih dari mereka yang telah menikah.”

Menikah Itu Ibadah

Dalam surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan hakikat pernikahan dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini menunjukkan bahwa dengan menikah kita telah menegakkan satu sisi dari bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. lebih menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah, “Bila seorang menikah berarti ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada paruh yang tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits Hasan)

Belum lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih sibuk dengan dirinya, tapi setelah menikah kita bisa saling melengkapi, mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan lapangan pahala yang tak terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih terjaga moralnya dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran menyebut orang yang telah menikah dengan istilah muhshan atau muhshanah (orang yang terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan menggambarkan bahwa kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga dari dosa daripada mereka yang belum menikah.

Bila ternyata pernikahan menunjukkan bukti kekuasan Allah, membantu tercapainya sifat takwa. dan menjaga diri dari tindakan amoral, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pahalanya dengan ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata Anda setiap hari bisa menegakkan ibadah shalat, dengan tenang tanpa merasa terbebani, mengapa Anda merasa berat dan selalu menunda untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini ibadah dan itupun juga ibadah.

Pernikahan dan Penghasilan

Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia?

Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah saw. bila didatangi seorang sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat Alquran.

Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa Rasulullah saw. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah saw. pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah saw. selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang telah Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.

Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka muda maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang bagi mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah, memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.

Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan. Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, masalah rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi.

Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).

Rasulullah saw. pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)

Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera, atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’ oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada Allah dengan membangun pernikahan.

Persoalannya sekarang, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan bukan sebuah persyaratan utama.

Yang paling penting adalah kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan berarti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab pernikahan.

Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena masing-masing dari suami istri saling melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi.

Pernikahan dan Menuntut Ilmu

Seorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu.

Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha, seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah.

Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada yang sudah doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan.

Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tangga yang Islami.

Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal beliau secara ekonomi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dimungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini. Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia terus ditahan-tahan.

Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah (uzzab) demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab karena saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu untuk menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.

Kesimpulan

Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan.

Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian “pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan menjalankan puasa saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa tawakkal kepada Allah”. Sudah terbukti, orang-orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya yang berjuang di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati.

Perhatikan mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan ini, seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk mengimbangi mereka. Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun pernikahan. Wallahu a’lam bishshawab.

Referensi :

DR. Amir Faishol Fath Kirim

http://www.dakwatuna.com/

Laman Sahabat

Bicara UKHUWWAH

ShoutMix chat widget

Followers

About Me

Foto Saya
ibnu qais
Dilahir di Kampung tercinta di Desa Permai Pagut pada tanggal 18 Mei 1986 pada jam 08.55pm bersamaan 9 Ramadhan 1406 Hijrah iaitu jatuh pada hari Ahad. Mendapat pendidikan awal di Sekolah Agama (Arab) Al-Ittihadiah Tanjung Pagar, Ketereh.Kemudian melanjutkan ke pengajian menengah di Sekolah Menengah Agama (Arab) Darul Aman, Kok Lanas dari 1999-2002, sekarang dikenali Ma'had Tahfiz Sains Nurul Iman. Setelah itu saya berhijrah ke Sekolah Menengah Agama (Arab) Azhariah, Melor. Setelah tamat, saya mendapat tawaran melanjutkan pengajian ke peringkat diploma bidang syariah di Kolej Islam Antarabangsa Sultan Ismail Petra (KIAS),Kelantan (2005-2008) dan sekarang melanjutkan pengajian sarjana di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Nanggroe Acheh Darussalam, Republik Indonesia,dalam Fakultas Syariah Jurusan Ahwalul Syakhsiyyah(Hukum Keluarga Islam). Sebarang pandangan emailkan kepada yiez_almaqdisi@yahoo.com @ ibnqais@gmail.com.
Lihat profil lengkap saya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Ultimos Comentarios

 
Copyright © Jalan Yang Lurus